EKBIS.CO, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Haris Munandar mengatakan, cukai minuman beralkohol tidak akan berdampak terhadap industri minuman beralkohol. Sebab, industri ini sudah memiliki pasar tersendiri, terutama wisatawan mancanegara.
Haris menjelaskan, kebijakan tersebut juga sudah diteken oleh pemerintah sehingga tidak dapat diganggu gugat. Hal ini berbeda dengan cukai kantong plastik konvensional yang masih dirancang di tingkat antar kementerian. "Apalagi, sudah empat tahun cukainya tidak naik," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/12).
Berdasarkan catatan Kemenperin, industri minol turut berperan dalam penerimaan negara dari nilai cukai sebesar Rp 5,27 triliun pada tahun 2017. Total itu naik sekitar 2,63 persen dibanding penerimaan cukai tahun 2016 yang mencapai Rp 5,14 triliun. Selanjutnya, dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan nilai ekspor bir tercatat hingga 12 persen per tahun.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pandu Baghaskoro menilai, kenaikan cukai minuman beralkohol dikhawatirkan tidak akan efektif menurunkan tingkat konsumsi alkohol. Sebab, kebijakan ini berpotensi membuat konsumen minuman beralkohol beralih ke minuman beralkohol oplosan.
Pandu menjelaskan, kenaikan cukai minuman beralkohol akan membuat harga minuman beralkohol yang legal (tercatat oleh pemerintah) semakin tinggi. Dengan begitu, semakin tingginya harga dapat memicu konsumen beralih ke minuman beralkohol oplosan yang harganya lebih terjangkau.
Sebaiknya, Pandu menjelaskan, kebijakan difokuskan untuk meningkatkan edukasi mengenai bahaya alkohol. Kalaupun mereka memilih untuk tetap minum, maka harus dipastikan mereka mendapatkan akses untuk mengonsumsi minuman beralkohol yang legal. "Konsumen juga berhak atas informasi yang jelas agar sadar untuk mengonsumsi alkohol secara bijaksana," katanya dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (19/12).
Pandu menambahkan, pemerintah seharusnya lebih mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat jika kebijakan pelarangan terus dilakukan. Pemberlakukan sanksi hukum terhadap pelaku black market dan pemilik tempat yang menjual minuman beralkohol oplosan dan ilegal juga wajib dilakukan. Hal ini supaya memberikan efek jera dan memutus rantai peredaran minuman jenis ini di masyarakat.
Berdasarkan penelitian CIPS di enam kota di Indonesia, diketahui motivasi terbesar konsumen mengonsumsi minuman oplosan karena harganya murah dan barang yang mudah didapatkan. Hal ini disebabkan sulitnya konsumen untuk mengakses minuman beralkohol resmi karena banyaknya peraturan pemerintah mulai dari pusat maupun daerah yang melarang minuman beralkohol.
Pandu menjelaskan, sebanyak 58,7 persen konsumen yang diwawancarai menyatakan alasan utama mereka mengonsumsi minuman oplosan karena harganya murah dan sangat mudah didapat. "Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah fokus memberantas minuman beralkohol oplosan, bukan minuman beralkohol yang resmi," katanya.
Ada tiga kebijakan yang diberlakukan untuk mengatur konsumsi minuman beralkohol di Indonesia. Pertama, menaikkan bea impor minuman beralkohol kategori B dan C menjadi 150 persen dari nilai barang yang diimpor. Kedua, pembaharuan daftar bidang usaha yang tertutup terhadap penanaman modal asing atau terbuka dengan persyaratan tertentu (Daftar Negatif Investasi / DNI).
Lalu, pemerintah juga memberlakukan pelarangan penjualan minuman beralkohol di minimarket lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri dan Mutu Minuman Beralkohol. "Sejumlah pemerintah daerah juga memberlakukan larangan untuk minuman beralkohol di wilayah yurisdiksinya," ujar Pandu.
Pemberlakuan kebijakan seperti ini justru membuat masyarakat beralih ke black market yang mendistribusikan minuman beralkohol oplosan dan tidak tercatat. Selain mengandung zat-zat mematikan, minuman beralkohol oplosan juga dikonsumsi karena harganya yang murah.
Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyetujui kenaikan tarif cukai minuman yang mengandung etil alkohol berkadar lima persen sampai 20 persen Keputusan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158 Tahun 2018.