EKBIS.CO, JAKARTA -- Persoalan data pangan kerap menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan data antara Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian (Kementan) serta Kementerian Perdagangan (Kemendag). Hal ini beberapa kali menjadi penyebab perdebatan antara impor dan tidak impor dari dua kementerian.
Berdasarkan UU No 16 Tahun 1997 tentang Statistik, BPS memiliki tanggung jawab menyelenggarakan statistik dasar yang pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional dan makro. Sementara data pangan termasuk dalam statistik sektoral yang pemanfaatannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan instansi tertentu dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemenda Tjahya Widayanti mengakui polemik data terus terjadi antara kementerian lembaga terkait karena masing-masing memiliki data menyesuaikan dengan kebutuhan dari tiap-tiap kementerian/lembaga.
Sebagai contoh, BPS melakukan pengumpulan data harga pangan secara mingguan, yang digunakan sebagai salah satu instrumen dalam perhitungan inflasi. Sementara itu, Kemendag juga memerlukan data harga pangan sebagai indikator stabilitas harga dan ketersediaan secara harian.
Karena itu Kemendag juga melakukan pemantauan harga secara harian di pasar-pasar pantauan agar mendapatkan akses secara cepat terhadap kondisi riil terkini di lapangan. "Mengingat peran penting data pangan nasional dalam perumusan kebijakan stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, maka validitas dan kontinuitas data harus benar benar dijaga," ujar Tjahya.
Sebagai pengguna data, kata Tjahya, Kemendag menyambut baik adanya satu data pangan nasional. Menurutnya hal ini karena lebih efisien dan lebih efektif dalam upaya perumusan kebijakan.
"Ini akan lebih efisien dan efektif dalam upaya stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, maupun untuk keperluan lainnya," kata Tjahya.
Penggunaan metode satelit dan aplikasi perangkat lunak dalam pendataan produksi pangan pada 2018 diyakini dapat menyelesaikan masalah ini. Data ini dirilis BPS pertama kali pada Oktober 2018 lalu dan menyatakan Indonesia memilliki surplus produksi beras sebesar 2,8 juta ton.
Jauh lebih akurat
Menurut Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, data BPS saat ini dinilai jauh lebih akurat karena menggunakan citra satelit dan terbebas dari conflict of interest (konflik kepentingan) masing-masing kementerian.
"Dari BPS sudah lebih akurat, karena citra satelit, sehingga tingkat keakuratannya tinggi dan jauh dari intervensi manusia. BPS lebih independen karena lembaga ini tugasnya hanya mengumpulkan data," ujar Dwi.
Dwi menilai, pola sistem pemerintahan Indonesia dengan adanya menteri sebagai pimpinan kementerian yang dapat diganti beberapa kali oleh presiden, menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik kepentingan.
Masing- masing kementerian memiliki tujuan untuk mencapai target mereka, sehingga data pun dinilai tidak sepenuhnya independen. Akibatnya, kementerian terkait kerap kali berselisih mengenai perlu atau tidaknya impor.
Di satu sisi, Kementan menyatakan suatu produk pangan surplus, namun di sisi lain harga-harga meroket yang menyebabkan Kemendag harus mengatasinya segera, salah satunya dengan cara impor.
"Beda dengan negara maju yang sistemnya departemen. Kalau disini menteri sangat berkepentingan dalam banyak hal. Jadi merepotkan. Untuk Indonesia dengan pola sistem pemerintah seperti itu, data harus dikeluarkan oleh badan independen," papar Dwi.
Permasalahan seperti ini, menurut Dwi akan dapat teratasi dengan data terbaru yang dihimpun BPS dengan metode kerangka sampel area (KSA). Metode perhitungan dengan KSA ini dinilai lebih valid karena menggandeng sejumlah badan terkait.
Mulai dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan teknologi terkini hingga Kementerian ATR dan Kementerian Pertanian.
Namun, dia menyarankan agar pemerintah menambah anggaran untuk BPS. BPS harus diperkuat dari kapasitas dan pendanaan, sehingga data lebih reliable dan akurat. Apalagi jika menginginkan BPS menghimpun data komoditas pangan lainnya selain beras.
"Sebelumnya data produksi pangan kan diproduksi oleh Kementan 75 persen, BPS 25 persen. Sekarang kan BPS 100 persen. Kalau semua data terlalu berat, jadi yang sensitif saja seperti beras, jagung, dan peternakan. Dan beberapa data lainnya yang memiliki dampak besar," tutur Dwi.
Menghimpun semua data
Sementara itu Kementan berharap BPS dapat menghimpun data semua komoditas pangan. "Kalau bisa semua komoditas pangan, ya harusnya semua," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro.
Menurut Syukur, Kementan dari dulu hingga sekarang mengacu pada data BPS. Dia pun berharap dengan metode baru, penghimpunan data pangan oleh BPS akan lebih akurat.
"Sesuai UU harus melalui satu pintu BPS, tapi datanya juga harus akurat, sehingga tidak selalu menimbulkan kegaduhan," tuturnya.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution pun beberapa waktu lalu menyatakan optimismenya dengan metode terbaru ini. Menurutnya, dengan metode ini, pemerintah memiliki acuan dalam menetapkan kebijakan seperti impor beras dan ke depan, perdebatan pengadaan impor dapat dihindari.
"Selanjutnya kita akan lebih akurat. Paling tidak pertengkarannya, perdebatannya bisa hilang. Sehingga keputusannya itu tidak terlambat," ujar Darmin.