EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpendapat
keputusan untuk meningkatkan kepemilikan Indonesia di PT Freeport Indonesia (PTFI) melibatkan usaha yang besar dan panjang. Kehati-hatian dalam bertindak menyangkut PTFI karena menjadi pusat perhatian semua kalangan di dalam maupun luar negeri.
Empat Kementerian terlibat dalam mewujudkan peningkatan kepemilikan saham Indonesia melalui Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) menjadi 51 persen. Selain Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian BUMN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga terlibat aktif dalam proses ini.
“Saya menghitung sejak pertengahan 2017 hingga Desember 2018, lebih dari 34 kali pertemuan dan rapat di internal Kemenkeu, antar kementerian dan lembaga dan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika, dengan pihak Freeport McMoRan (FCX) dan Rio Tinto,” kata Sri Mulyani, sebagaimana tertulis dalam laman Facebook resminya.
Jajaran Kemenkeu melakukan negosiasi aspek penerimaan negara yang harus mengkonversi Kontrak Karya menjadi IUPK dengan jaminan penerimaan negara harus lebih baik dibawah rezim IUPK. Kemenkeu berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Pemda Papua dan Kabupaten Mimika mengenai hak penerimaan daerah.
Proses alot selama kurang lebih dua tahun yang dijalankan oleh semua pihak dilakukan untuk mencapai tujuan bersama yang jelas.
“Setiap ucapan, tindakan dan keputusan pemerintah Indonesia menyangkut penanganan pertambangan PTFI akan membuktikan dimana posisi pemerintah Republik Indonesia terhadap kepentingan negara dan kemakmuran rakyatnya baik di Papua maupun seluruh rakyat Indonesia, kepentingan membangun ketahanan ekonomi Indonesia termasuk pembangunan industri, kepentingan perbaikan dan kelestarian lingkungan, kepentingan penerimaan negara, kepentingan kepastian hukum dan menjaga tata kelola yang baik, dan kepentingan menjaga kepercayaan dunia usaha dan investasi.” kata Sri Mulyani.
PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 di zaman Soeharto. Kontrak ini diperbarui melalui KK tahun 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait dengan masa operasi tersebut, FCX sebagai pengendali PTFI dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan. Pengertian FCX, yang berbasis di Amerika Serikat, adalah bahwa KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara 'tidak wajar.
Interpretasi yang berbeda terkait kata 'tidak wajar' ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD baru-baru ini, tidak ada jaminan Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.
Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis. KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas dimana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah.