EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan peningkatan nilai ekspor non migas sebesar 7,47 persen atau mencapai 157,9 miliar dolar AS pada 2019. Target ini sama dengan realisasi capaian ekspor nonmigas periode Januari sampai November 2018 dengan nilai 163,6 miliar dolar AS.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, angka tersebut sudah ditetapkan dalam rapat kerja internal Kemendag. Dalam waktu dekat, ia ingin melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan atase perdagangan untuk mengukur betul target yang ingin dicapai.
"Tapi, masih dalam rentang angka tersebut," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Kemendag, Jakarta, Kamis (10/1).
Enggar mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan target peningkatan ekspor pada 2019 disamakan dengan realisasi tahun lalu. Di antaranya, kondisi ekonomi global yang masih serba tidak pasti sebagai dampak dari perang dagang antara Amerika dengan Cina.
Untuk mencapai target, Enggar mengatakan, pemerintah akan semakin fokus penetrasi pasar ekspor ke negara-negara nontradisional. Pada 2018, Kemendag berhasil mendorong peningkatan pertumbuhan nilai ekspor di non tradisional seperti Bangladesh (15,9 persen), Turki (10,4 persen), Myanmar (17,3 persen), Kanada (9,0 persen) dan Selandia Baru (16,8 persen).
Pembukaan akses pasar ekspor baru sudah dimandatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab, menurut Enggar, apabila hanya mengacu pada pasar tradisional, kinerja ekspor tidak dapat maksimal dengan apa yang terjadi di kondisi ekonomi global saat ini. "Pasar nontradisional menopang kekurangan ini dan kami akan tingkatkan pasar lebih besar dengan perjanjian perdagangan yang sedang dan akan dilaksanakan," ucapnya.
Sepanjang tahun ini, Kemendag menargetkan penyelesaian atau penandatanganan 12 perjanjian. Sebanyak tiga di antaranya ditujukan untuk negara di Benua Afrika yang menjadi target pasar baru sejak 2018, yakni Mozambik, Tunisia dan Maroko. Indonesia akan menjalin kerja sama perdagangan dengan tiga negara tersebut melalui skema Preferential Trade Agreement (PTA).
Selain Afrika, pemerintah akan melakukan perjanjian kerja sama dengan Iran yang juga dalam skema PTA. Untuk Turki, Indonesia akan menjali kerja sama melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). "Turki sebenarnya sudah launch, tapi ada perubahan politik di Turki, sehingga kita harus memulai kembali. Negara Asean lain juga memulai lagi pembahasan dengan Turki," ujar Enggar.
Negara lain yang turut menjadi target perjanjian adalah Korea Selatan. Enggar menjelaskan, Indonesia sering berinteraksi dengan Korea Selatan, tapi belum memiliki perjanjian dalam bentuk CEPA. Padahal, Negeri Gingseng itu memiliki potensi besar sebagai investor.
Enggar menuturkan, pihaknya sudah sepakat dengan Menteri Perdagangan Korea Selatan untuk membuat business forum dan mengembangkan standing commitee yang menjembatani persoalan tiap dunia usaha. Targetnya, perjanjian dalam bentuk CEPA ini akan selesai dalam kurun waktu satu tahun.
Enggar mengakui, 12 perjanjian perdagangan ini tidak akan memberikan dampak signifikan pada kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada 2019. Sebab, dibutuhkan proses persetujuan dan ratifikasi yang tidak sebentar untuk menyelesaikan perjanjian.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pihaknya tengah memacu ekspor dari industri otomotif karena memiliki kapasitas lebih. Saat ini, industri otomotif memiliki kapasitas 2 juta unit per tahun, sedangkan kebutuhan domestik hanya 1,1 juta unit dan ekspor 300 ribu unit. "Sisanya, dapat dimanfaatkan untuk menambah ekspor," katanya dalam acara Outlook Perekonomian 2019 di Jakarta, Selasa (8/1).
Terkait hal itu, Kemenperin telah membahas dengan Kementerian Keuangan untuk memperbaiki struktur Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Apabila nanti perjanjian kerja sama dengan Australia sudah ditandatangani, Airlangga optimistis dapat mendorong pasar ekspor di sana yang mencapai 1,2 juta unit.
Selain itu, untuk sektor industri elektronika, pemerintah juga berencana membuat peta jalan terkait pengoptimalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dengan begitu, ada nilai tambah yang bisa dinikmati industri dalam negeri. "Jangan sampai pembangunan infrastruktur teknologi kita bangun, tetapi bahan baku masih ketergantungan dari negara lain," ujar Airlangga.
Kemudian, industri juga bakal mendapatkan fasilitas kredit ekspor dari lembaga pembiayaan. Salah satunya adalah industri alat berat. Menperin pun optimistis, dengan berbagai strategi peningkatan ekspor tersebut, bisa memperbaiki neraca perdagangan.