Jumat 18 Jan 2019 08:24 WIB

Peneliti Kementan: Ketahanan Pangan Membaik 4 Tahun Terakhir

Pada 2018 posisi GFSI Indonesia berada di peringkat 65 dari 113 negara

Red: EH Ismail
Peneliti Ahli Utama, PSEKP Kementerian Pertanian Achmad Suryana.
Peneliti Ahli Utama, PSEKP Kementerian Pertanian Achmad Suryana.

EKBIS.CO, JAKARTA – Ketahanan pangan Indonesia membaik dalam empat tahun terakhir. Menurut Peneliti Ahli Utama, PSEKP Kementerian Pertanian, Achmad Suryana, hal itu terungkap berdasarkan Global Food Security (GFSI) atau Indeks Ketahanan Pangan Global yang diterbitkan the Economist Inteligence Unit dengan kantor pusat di London, Inggris.

GFSI mengukur kinerja ketahanan pangan suatu negara didasarkan pada keberadaan kondisi atau faktor yang menunjang (enabling environment) bagi pencapaian ketahanan pangan secara agregat. Instrumen ini  tidak secara langsung mengukur ketahanan pangan rumah tangga atau masyarakat berdasarkan tingkat konsumsi pangan.

Pada 2018 posisi GFSI Indonesia berada di peringkat 65 dari 113 negara, dengan skor 54,8 dari kemungkinan tertinggi 100. Di kawasan ASEAN, Indonesia berada di atas Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Laos (skor 38,30). Peringkat pertama GFSI dengan skor 85,9 adalah Singapura. Inggris dan Amerika Serikat sama-sama di peringkat ketiga dengan skor 85,0.

Surya mengatakan, patut menjadi cacatan penting dari perolehan skor GFSI Indonesia adalah perkembangan kemajuannya. Diukur dari peringkat GFSI, dalam empat tahun terakhir ketahanan pangan Indonesia membaik. Pada tahun 2015 berada di  peringkat 74, terus meningkat setiap tahun, dan di tahun 2018 berada di peringkat  65.

Menurut Suryana, dalam periode empat tahun terakhir (2015-2018) skor GFSI Indonesia meningkat sebesar 8,1, yaitu dari 46,7 menjadi 54,8.  Pada 2016, peningkatan skor Indonesia mencapai 2,7, yang merupakan perubahan positif tertinggi dari 113 negara. Perbaikan skor GFSI Indonesia dari tahun 2017 ke 2018 utamanya didukung oleh perbaikan dalam pilar ketersediaan pangan, yaitu sebesar 3,8.

Suryana menambahkan, perkembangan pencapaian ketahanan pangan nasional yang positif berdasarkan ukuran global tersebut dapat diperbandingkan kesesuaiannya dengan ukuran kinerja pembangunan ketahanan pangan nasional. Tiga variabel yang saling terkait yang dapat  dijadikan indikator kemajuan ketahanan pangan nasional adalah stabilitas harga pangan, tingkat inflasi, dan proporsi penduduk miskin.

Pertama, stabilitas harga bulanan pangan dalam periode 2014-2017 lebih baik dibandingkan dalam periode sebelumnya (2008-2013).  Kondisi ini diukur dengan besaran nilai koefisien variasi (CV). Sebagai contoh, nilai CV untuk harga beras periode empat tahun terakhir sebesar 1,24 persen dan periode lima tahun sebelumnya 2,27 persen. Nilai CV untuk harga daging sapi dalam dua periode tersebut masing-masing 2,27 persen  dan 2,97 persen. Untuk harga bawang merah, gejolak harga pada periode empat tahun terakhir masih lebih tinggi, terlihat dari nilai CV yang lebih besar (3,88 persen) dibandingkan periode lima tahun sebelumnya (3,25 persen). Keseluruhan nilai CV harga pangan bulanan tersebut relatif kecil, yang mengindikasikan stabilitas harga pangan dapat dijaga cukup baik.

Kedua, angka inflasi bahan makanan menurun tajam dari 11,35 persen tahun 2013 menjadi  4,93 persen pada 2015, dan menurun lagi menjadi 1,2 persen pada 2017. Karena sumbangan komponen bahan makanan terhadap angka inflasi cukup besar, maka inflasi umum juga bergerak turun dari 8,38 persen di 2013 menjadi  3,35 persen pada 2015, selanjutnya berada antara 3,0 persen sampai  3,6 persen dalam tiga tahun berikutnya (data BPS).

Ketiga, proporsi dan jumlah penduduk miskin di Indonesia dalam periode 2014-2018 menurun (pengamatan setiap Maret dari BPS). Pada tahun 2014 proporsi penduduk miskin 11,25 persen dengan jumlah penduduk miskin 28,28 juta jiwa. Pada tahun 2018 kondisinya lebih baik, yaitu proporsi penduduk miskin 9,82 persen dengan jumah penduduk miskin menurun menjadi 25,96 juta orang. Angka proporsi di bawah dua digit ini baru pertama kali dapat dicapai oleh Indonesia.

Indikator yang langsung mengukur kecukupan konsumsi pangan (konsumsi energi/kapita) mengonfirmasi membaiknya kondisi ketahanan pangan nasinal selama empat tahun terakhir. Berdasarkan perhitungn Badan Ketahanan Pangan (BKP) persentase Angka Rawan Pangan (ARP) menunjukkan tren membaik dari 14,71 persen (2015) menjadi 8,23 persen (2018). Sementara itu, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (Prevalence of Undernourishment/PoU) hasil perhitungan BPS tahun 2015 sebesar 10,73 persen menurun menjadi 7,95 persen pada 2018.

 

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement