Rabu 23 Jan 2019 18:56 WIB

Struktur Pajak Indonesia Harus Dibalik, Ini Alasannya

Penarikan pajak pribadi (PPh 21) masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, penarikan pajak pribadi atau PPh 21 masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Sebab, menurut data yang diolah CITA, jumlahnya masih jauh di bawah Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/ PPnBm, PPh 25/29 Badan dan PPh Final.

Pada 2015, Yustinus mengatakan, tercatat PPh 21 berkontribusi 10,80 persen dari total pendapatan pajak. Sedangkan, PPN mencapai 39 persen, PPh 25/29 badan sekitar 17 persen dan PPh Final 11,29 persen.

Kondisi tersebut berbeda dengan di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang diisi negara maju. "Di sana, justru PPh pribadi paling tinggi," ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (23/1).

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa masih terjadi ketimpangan antara perlakuan terhadap masyarakat atas dan seluruh lapisan masyarakat. Pasalnya, PPN dibebankan kepada semua masyarakat tanpa mengenal kelas.

Menurut Yustinus, apabila ingin adil, kontribusi PPh pribadi harus berada di atas yang lain. Permasalahan Indonesia saat ini adalah bagaimana membalik struktur perpajakan yang ada.

Tujua membalik struktur pajak ini agar orang yang lebih mampu membayar pajak lebih besar dibandingkan orang tidak mampu. Cara ini diyakini Yustinus dapat menjadi solusi permasalahan ketimpangan yang terus menjadi isu nasional maupun dunia.

Meski data diambil tiga tahun lalu, Yustinus mengatakan, proporsi pajak di Indonesia tidak berbeda jauh. Sebab, belum ada kebijakan signifikan dari pemerintah yang mampu meningkatkan proporsi PPh pribadi dibandingkan PPN ataupun PPh badan.

Proporsi PPh pribadi yang rendah di Indonesia bukan tanpa sebab. Menurut Yustinus, selama ini, masyarakat kelas atas memiliki insentif untuk menyembunyikan kekayaan, berbeda dengan karyawan. "Orang kaya bisa memindahkan aset ke luar negeri, sehingga tidak dibebani pajak besar di sini," ucapnya.

Penyebab lainnya, PPh individu hanya terdiri dari empat layer tarif. Yakni, hingga Rp 50 juta per tahun, Rp 50 juta-Rp 250 juta per tahun, Rp 250 juta-Rp 500 juta dan di atas Rp 500 juta. Menurut Yustinus, empat layer tersebut tidak cukup progresif untuk mencapai tahap keadilan yang maksimum.

Dengan empat layer dan jeda yang sempit, Yustinus menilai, tidak akan mendorong pemerataan. Sebab, tarif tertinggi justru diterapkan pada mereka dengan lapisan penghasilan yang melebihi Rp 500 juta.

Yustinus mendorong agar pemerintah dapat membuat kebijakan pajak lebih progresif guna memproteksi kelas menengah dengan memperluas bracket. "Di Amerika saja, layernya bisa sampai tujuh," tuturnya.

Selain itu, Yustinus merekomendasikan pemerintah untuk meniru sistem pajak warisan (Inheritance Tax), seperti yang diaplikasikan Jepang. Di sana, pemerintah menerapkan tarif pajak 10 hingga 70 persen atas warisan dari orang tua kepada anaknya.

Yustinus mengatakan, tidak sepantasnya, orang turun-temurun memiliki kekayaan karena akan menyebabkan ketimpangan semakin tinggi. "Oleh karena itu, negara berhak mengambil kekayaan itu untuk diredistribusikan kepada kelompok yang kurang mampu," ujarnya.

Sebelumnya, laporan Oxfam bertajuk 'Public Good or Private Wealth' yang dirilis pada Senin (21/1) menunjukkan kesenjangan yang semakin besar antara kaya dengan miskin. Laporan itu diluncurkan ketika para pemimpin politik dan bisnis berkumpul dalam World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss.

Laporan menunjukkan, kekayaan miliarder meningkat sebesar 12 persen dibanding dengan tahun lalu atau 2,5 miliar dolar AS per hari. Sedangkan, 3,8 miliar orang yang tergolong dalam kategori miskin mengalami penurunan kekayaan hingga 11 persen.

Laporan Oxfam mengungkapkan, bagaimana pemerintah memperburuk ketidaksetaraan dengan menyediakan dana terbatas untuk pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, pemerintah gagal meningkatkan pembayaran pajak untuk orang kaya maupun perusahaan besar. Ditemukan juga, perempuan dan anak perempuan menjadi pihak paling terpukul akibat peningkatan ketidaksetaraan ekonomi ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement