EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, pemerintah sebaiknya fokus membenahi permasalahan gula nasional dari segi produktivitas (on farm) maupun tingkat rendemen (off farm). Sebab, dua poin ini menjadi penyebab gula nasional sulit bersaing dengan impor.
Ilman mengatakan, dari sisi on farm, produktivitas perkebunan tebu ditentukan oleh kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja, sistem irigasi dan penerapan teknologi. Sementara itu, dari sisi off farm, pemerintah perlu menjalankan upaya revitalisasi pabrik gula dan penggilingan tebu. "Tujuannya, memperbaiki tingkat rendemen gula," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (23/1).
Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektar di tahun 2017. Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya seperti Brazil yang sebesar 68,94 ton per hektare. Selain itu, India yang sebesar 70,02 ton per hektare dalam periode sama.
Impor Gula Mentah Tahun Ini Mencapai 2,7 Juta Ton
Ilman menjelaskan, faktor lain yang mempengaruhi produktivitas gula nasional adalah dampak buruk dari cuaca, ketidaksesuaian antara varietas tebu dengan lokasi pertanian yang tersedia. Relatif tidak tersedianya tenaga kerja yang mampu menerapkan teknik budidaya tebu yang tepat turut menjadi faktor penyebab.
Tidak kalah penting, Ilman menambahkan, distribusi pupuk yang masih perlu ditingkatkan efisiensinya dan juga minimnya pengawasan terhadap penggunaan subsidi pertanian. "Perusahaan gula juga sering dihadapkan pada sulitnya mendapatkan lahan pertanian yang lokasinya berdekatan dengan pabrik gula dan penggilingan tebu," katanya.
Sementara itu, berdasarkan data USDA 2017, tingkat rendemen pabrik gula dan penggilingan tebu di Indonesia hanya mencapai 7,50 persen pada 2017/2018. Angka ini lebih rendah daripada di negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand dan Australia yang tingkat rendemennya masing-masing mencapai 9,20 persen, 10,70 persen, dan 14,12 persen.
Ilman menilai, rendahnya tingkat rendemen ini tidak lepas dari usia pabrik penggilingan gula di Indonesia Dari 63 pabrik di negara ini, sekitar 40 di antaranya berusia lebih dari 100 tahun. "Bahkan, yang tertua mencapai 184 tahun," ucapnya.
Selain karena usia pabrik gula dan penggilingan tebu yang kebanyakan sudah tua, nilai rendemen juga dipengaruhi oleh kualitas tebu serta waktu potong dan kualitas mesin pabrik.
Untuk meningkatkan nilai rendemen, pemerintah dan industri seharusnya fokus pada efisiensi pabrik gula. Tapi, yang terjadi, belum ada perubahan signifikan pada kinerja mesin pabrik penggilingan tebu. Padahal, pemerintah sudah menawarkan dukungan finansial.
Hal ini dikarenakan pemilik pabrik enggan menghentikan proses produksi selama proses revitalisasi dilakukan. "Revitalisasi dapat memakan waktu selama sekitar delapan bulan," kata Ilman.
Solusi lain yang dapat dilakukan pemerintah terhadap para petani tebu, pabrik gula dan penggilingan tebu adalah pendampingan. Khususnya, dalam penerapan praktek budidaya tebu yang lebih efisien.
Pemerintah juga sebaiknya berinvestasi dalam pengembangan teknologi industri gula nasional. Tapi, bantuan ini juga harus diikuti adanya target yang jelas agar hasilnya tepat sasaran dan mempengaruhi produktivitas dan tingkat rendemen gula.