EKBIS.CO, JAKARTA -- Polemik soal utang kembali mencuat ke ruang publik. Kali ini, pemicunya adalah pernyataan Calon Presiden Prabowo Subianto yang menyarankan agar penyebutan Menteri Keuangan diubah menjadi Menteri Pencetak Utang.
Ekonom senior Faisal Basri pun turut berkomentar dengan memaparkan data utang pemerintah pusat di era Presiden Joko Widodo. Tulisan Faisal tersebut diunggah dalam situs resmi pribadinya, baru-baru ini.
"Selama kurun waktu 2014 hingga 2018 utang pemerintah pusat naik 69 persen dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010 hingga 2014 yang sebesar 55 persen," kata Faisal.
Kendati demikian, menurut Faisal, posisi jumlah utang tersebut tak bisa dijadikan patokan untuk mengkritik utang. Ini karena beban utang perlu dicermati dari rasio utang terhadap PDB suatu negara. Rasio utang terhadap PDB Indonesia pada akhir 2018 adalah 29,98 persen.
Menurut Faisal, rasio utang terhadap PDB Indonesia itu relatif rendah dibandingkan Jepang yang memiliki rasio utang 250 persen terhadap PDB maupun Amerika Serikat yang rasio utangnya mencapai 105 persen terhadap PDB.
Meski rasio utang Jepang delapan kali lipat lebih tinggi dari Indonesia, Faisal mengingatkan hal itu tak bisa dijadikan satu-satunya patokan dalam menilai utang. Dia menyampaikan, Jepang bukan hanya berutang atau menjadi debitur tapi juga memberikan utang kepada negara lain.
Dana yang disalurkan Jepang untuk membeli surat utang maupun memberi pinjaman kepada berbagai negara termasuk Indonesia.
"Jepang merupakan pemegang surat utang pemerintah AS terbesar kedua setelah Cina. Indonesia bisa dikatakan debitur murni," kata Faisal.
Selain itu, kata Faisal, suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang yang bertenor 10 tahun menjadi salah satu yang terendah di dunia. Bahkan, sekitar 90 persen surat utang Jepang dibeli oleh masyarakat Jepang sendiri.
Hal itu membuat dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri. "Dengan demikian beban utang tidak besar dampaknya terhadap stabilitas makroekonomi Jepang," kata Faisal.
Sebaliknya, ujar Faisal, surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah yang dipegang oleh investor asing adalah sekitar 38 persen. Hal itu relatif besar terutama dibandingkan negara berkembang lain.
Itu kemudian mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Imbal hasil surat utang Indonesia bertenor 10 tahun pun tergolong tinggi, yaitu 8,1 persen per 25 Januari 2019.
Meski utang pemerintah Indonesia masih relatif rendah, Faisal menyoroti beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat.
Pada 2014, pembayaran bunga utang baru mencapai 7,5 persen dari belanja total dan 11,1 persen dari belanja pemerintah pusat. Lima tahun kemudian meningkat masing-masing menjadi 11,7 persen dan 17,9 persen.
Selama kurun waktu 2014 hingga 2018, belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh paling tinggi atau mencapai 94 persen. Angka itu lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9 persen.
Faisal mengatakan, peningkatan utang pemerintah sejatinya bisa dikurangi jika kemampuan pemerintah menarik pajak bisa ditingkatkan. Dia mengkritisi rasio pajak Indonesia yang masih berada di level 11,5 persen terhadap PDB per akhir 2018.
"Baru tahun 2018 sedikit naik setelah empat tahun berturut-turut sebelumnya selalu turun. Dibandingkan dengan negara tetangga, rasio pajak kita sungguh sangat rendah," kata Faisal.