EKBIS.CO, JAKARTA – Kementerian Perdagangan membantah pernyataan Ekonom INDEF, Drajad Wibowo. Menurut Drajad, kegaduhan politik terjadi karena Menteri Perdagangan mengambil kebijakan impor pada musim panen, di mana Februari biasanya masuk puncak panen.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan mengatakan, jumlah impor beras tertinggi tidak terletak pada pemerintahan Jokowi-JK. Angka impor di Era Presiden Jokowi, justru sedikit lebih rendah dibandingkan era pemerintahan Presiden SBY periode kedua.
Dalam catatan Drajad, sejak era orde baru impor beras paling tinggi terjadi di masa pemerintahan Presiden Jokowi dengan rata-rata 1,174 juta ton/tahun.
"Gambaran riil keseimbangan penawaran dan permintaan konsumsi beras di Indonesia menunjukkan rata-rata impor 1 juta ton per tahun di setiap periode kepresidenan. Bahkan pada 1984 saat Indonesia mendapat penghargaan dari FAO karena berhasil mencapai swasembada, tetap saja ada impor sebanyak 414,3 ribu ton," kata Oke, Kamis (1/2).
Oke menambahkan, data impor beras bukanlah isu yang seharusnya menjadi topik perbincangan di kalangan pengamat. Tetapi bagaimana pemerintah Indonesia bisa meningkatkan produksi, sehingga terdapat ketersediaan yang cukup dalam pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
"Kita lihat saja data. Tidak ada kenaikan yang signifikan dalam rata-rata per tahun impor beras dari presiden ke presiden. Karena isunya memang bukan di situ. Isunya adalah bagaimana kita terus menggenjot produksi beras dalam negeri sehingga permintaan domestik terpenuhi," ujarnya.
Produksi Dalam Negeri Cukupi Kebutuhan Domestik
Berdasarkan ketetapan lembaga Pertanian dan Pangan Dunia, Food and Agriculture (FAO), suatu negara dikatakan swasembada pangan jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam kunjungan kerjanya ke Probolinggo, Jawa Timur Rabu (16/1) lalu menyampaikan, merujuk FAO dapat dikatakan Indonesia dalam empat tahun pemerintahan Jokowi-JK telah mencapai swasembada beras.
"Dari tahun 2016 sampai 2018 pun beras surplus. Pada 2016 dan 2017 tidak ada impor, kalau impor 2016 itu limpahan impor 2015. Kemudian 2018 beras surplus 2,85 juta ton. Ini berdasarkan data resmi dari BPS, adapun impor 2018 sebagai cadangan," ujar Amran.
Amran juga mencermati jumlah jumlah penduduk saat Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984, sebanyak 100 juta jiwa. Sedangkan saat ini penduduk di tanah air mencapai 260 juta jiwa.
Artinya naik dua kali lipat. Dengan demikian, masalah swasembada beras sudah selesai. Ini yang harus dipahami, supaya masyarakat tidak dibuat bingung," tambahnya.
Amran menegaskan, saat ini Perum Bulog memiliki stok terbesar untuk 20 tahun terakhir, yakni 3,1 ton yang belum keluar. Stok beras ini berasal dari pengadaan dalam negeri sebesar 1,5 juta ton dan impor 1,78 juta ton.
"Jadi kita belum makan beras impot 2018. Semuanya masih tersimpan di gudang," kata dia.
Sekedar diketahui, sejak tahun 2016 Indonesia tidak pernah melakukan impor beras medium karena kontrak impor beras 1,5 juta ton yang dilakukan pada tahun 2015 belum terealisasi secara penuh. Terbukti, saat ini hanya 505 ribu ton saja yang sudah masuk. Sedangkan 997 ribu ton pada tahun 2016 merupakan luncuran dari sisa kontrak tahun 2015.
"Sehingga kelihatan bagi banyak orang pada 2016 Indonesia seolah-olah melakukan impor beras, padahal tidak ada kontrak impor beras pada tahun tersebut karena produksi dalam negeri sudah melebihi kebutuhan," tuturnya.
Adapun impor beras pada 2017 yang mencapai 127 ton merupakan beras jenis khusus, bukan medium. Sedangkan impor 2018 yang mencapai 1,8 juta ton hanya untuk memperkuat stok. Dengan demikian, hingga saat ini seluruh beras impor itu belum digunakan dan masih tersimpan di Gudang Bulog.
"Hal ini juga diperkuat dengan data BPS yang menggunakan metode baru KSA (Kerangka Sampel Area), Indonesia masih mengalami surplus beras sebesar 3,1 juta. Artinya di era pemerintah Jokow-JK, impor beras yang dilakukan sangat rendah dan terkendali. Kalaupun ada, itu lebih ditujukan untuk memperkuat stock beras nasional," katanya.
Harus diakui, dalam dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia juga pernah melewati fenomena iklim El Nino dan La Nina secara berurutan. Fenomena tersebut dinilai terberat sepanjang 71 tahun terakhir.
"Tantangan yang sangat berat, tidak pernah ada el nino di Indonesia selama 71 tahun seberat tahun 2015. Bahkan Intensitasnya 2,44 persen, lebih besar dari El Nino di tahun 1997/1998 yang hanya 1,9 persen. Dan kita berhasil melaluinya dengan baik," pungkas Amran.