EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Yerry Indroes menuturkan, rencana pengenaan tambahan bea masuk besi dan baja ke India pasti memberikan pengaruh ke Indonesia. Seperti diketahui, pemerintahan India mengusulkan kenaikan bea masuk impor efektif untuk produk baja dari yang selama ini berkisar antara lima persen hingga 12,5 persen menjadi 15 persen.
Selama ini, Yerry menuturkan, industri Indonesia lebih banyak mengekspor baja dalam bentuk slab atau pelat ke India. "Oleh karena itu, pasti memberikan pengaruh pada kinerja ekspor kita," tuturnya tanpa memberikan angka detil ketika dihubungi Republika, Kamis (14/2).
Yerry memprediksi, apabila pemerintah India jadi memberlakukan kenaikan bea masuk, upaya pemerintah dalam menghapuskan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dari Malaysia tidak akan terasa. Diketahui, per 9 Februari 2019, BMAD Malaysia sebesar 11 persen hingga 25 persen telah dianulir karena tidak ada tindak lanjut.
Terlepas dari itu, Yerry menilai, kebijakan pemerintahan India untuk menaikkan bea masuk baja ke negaranya adalah tindakan wajar. Sebab, industri India tengah mengalami hantaman besar dengan gempuran produk baja maupun besi dari negara lain. Tindakan serupa kemungkinan akan dilakukan apabila Indonesia mengalami hal serupa.
Kondisi India semakin terhimpit dengan pengenaan bea masuk baja mereka ke Amerika Serikat. Padahal, Negeri Paman Sam tersebut diketahui menjadi pasar ekspor utama India.
Namun, Yerry berharap, kebijakan tersebut dapat berlaku dengan didasari fakta dan empiris yang mendukung. "Kalau memang mendukung, kami memaklumi," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menuturkan, keadaan perdagangan global produk besi dan baja memang memasuki masa yang berat. Di antaranya, akibat melonjaknya suplai ke pasar dunia dan kemudian adanya penerapan tarif global oleh Amerika Serikat.
Bagi India, Oke menambahkan, terdepresiasinya Rupee sebesar 12 persen hingga September 2018 semakin memperburuk kondisi industri bajanya sehingga memicu produsen baja India. "Antara lain, SW Steel Ltd, Tata Steel Ltd, state-owned Steel Authority of India Ltd, Jindal Steel dan Power Ltd untuk menaikan tariff impor produk baja," ucapnya kepada Republika, Rabu (13/2).
Sampai dengan saat ini, Oke memastikan, pihaknya belum memperoleh keterangan resmi perihal regulasi baru yang dikeluarkan oleh pemerintah India terkait kenaikan tarif impor baja. Tapi, apabila nantinya regulasi tersebut tidak sesuai dengan aturan Perdagangan Internasional dan merugikan bagi Indonesia, pemerintah Indonesia akan bertindak. Yaitu dengan tidak akan segan mengajukan keberatan baik secara bilateral maupun multilateral di forum DSB WTO.
Oke menuturkan, kebijakan tersebut pasti berdampak pada Indonesia. Sebab, India adalah negara tujuan ekspor kedua Indonesia untuk baja dengan nilai ekspor mencapai 294 juta dolar AS pada tahun 2017 atau setara dengan 391 ribu ton.
Ekspor utama artikel baja ke India adalah Ferro Alloy yang digunakan sebagai bahan untuk produksi baja India, dengan nilai ekspor pada 2017 sebesar 99 juta dolar AS.
Secara umum dalam menghadapi gejolak perdagangan global produk besi dan baja, Oke memastikan, pemerintah Indonesia telah melakukan langkah antisipasi. Di antaranya dengan menyesuaikan kebijakan impor besi dan baja untuk mengendalikan arus masuk produk baja ke Indonesia. "Termasuk dengan mendorong penggunaan instrumen anti dumping dan tindakan pengamanan," ucapnya.
Sebelum adanya rencana pemerintah India menaikkan bea masuk, beberapa produk baja Indonesia sudah tidak lagi dikenakan BMAD ke dua negara. Sementara produk baja Hot Rolled Coil (HRC) ke Malaysia dan Hot Rolled Plate (HRP) ke Australia. Kemendag berharap, penghentian ini dapat dimanfaatkan para eksportir baja nasional, terutama untuk memulihkan kinerja ekspor yang terdampak akibat adanya BMAD selama beberapa tahun terakhir.