EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia dinilai sangat tertinggal dalam mengembangkan industri halal yang potensinya sangat besar. Pada tahun ini, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) akan fokus pada peta jalan industri halal dan keuangan syariah.
Laporan States of Global Islamic Economy 2015-2016 (SGIE 2015-2016) mencatat konsumsi Muslim terus meningkat dari 1,8 triliun dolar AS pada 2014 menjadi 2,6 triliun dolar AS pada 2020. Pendapatan domestik bruto (GDP) Muslim mencapai 6,7 triliun dolar AS. Data- data tersebut menunjukkan potensi industri halal yang sangat besar.
Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi Beik mengatakan, perkembangan industri halal global sangat positif, terutama di sektor makanan halal dan pariwisata.
"Indonesia sudah mulai untuk berkembang. Tapi memang kita belum berkapitalisasi dengan baik industri halalnya. Jadi kita masih belum segesit Malaysia untuk menangkap potensi halal," ujar Irfan Syauqi Beik kepada Republika.co.id, Jumat (22/2).
Saat ini 21 persen dari ekspor makanan Indonesia merupakan produk halal. Meskipun Irfan menilai kontribusi ekspor makanan sudah signifikan, namun dibandingkan potensi, porsi tersebut masih belum besar. Berdasarkan data Indonesia Halal Lifestyle Center, ekspor makanan halal, farmasi dan kosmetik telah menghasilkan pendapatan sebesar 100 juta dolar AS.
Sementara itu, Irfan menilai beberapa upaya pemerintah untuk mengembangkan industri halal dinilai sangat lambat, seperti peta jalan industri halal yang dibentuk oleh KNKS serta pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) yang baru akan beroperasi pada Oktober 2019 mendatang. Irfan juga mempertanyakan rencana Kementerian Perindustrian untuk membangun kawasan industri halal.
"Saya menunggu gerak KNKS. Kemenperin ngomongnya kawasan industri halal, tapi realisasinya belum ada. Semua masih wacana. Yang kita butuh lebih konkret dan signifikan untuk mendorong industri halal," ujar Irfan.
Peneliti Ekonomi Syariah SEBI School of Islamic Economics, Aziz Setiawan, mengkritisi posisi Indonesia yang sangat tertinggal dibandingkan Malaysia dan Thailand dalam memasarkan industri halal. Apalagi saat ini ia melihat basis industri yang terpukul selama satu dekade dan mempengaruhi produksi produk halal.
"Kunci penting untuk masuk dan berperan kita harus benahi basis produksi halal kita. Sayangnya satu dekade terakhir kita mengalami declining di basis industri kita. Perusahaan garmen banyak terpukul, dan ketergantungan impor makin meningkat bahkan untuk kebutuhan pangan. Kita mengalami deindustrialisasi, involusi pertanian dan sektor maritime yang potensial juga belum dioptimalkan," ujar Aziz.
Menurutnya, untuk membangun halal industrial park adalah dengan membangun halal supply chain. Artinya, produksi barang atau jasa harus dipastikan halal dari hulu ke hilir dengan mengoptimalkan sumber daya yang menjadi keunggulan kita.
Dia mencontohkan, Malaysia yang sudah menerapkan lebih dari 20 halal industrial park. Dengan konsep ini, mereka bisa memproduksi barang-barang halal untuk diekspor dan mencukupi kebutuhan makanan, kosmetik, dan fashion di dunia.
Selain itu, ia menilai harus juga dibangun hubungan industri halal kecil dan besar, dimana potensi besar UMKM harus mendapatkan akses yang lebih baik. Indonesia harus memiliki mimpi untuk menjadi dominan dalam “Global Halal Supply Chain” dan ini butuh kebijakan pemerintah yang kuat dan konsisten.
Hal yang penting juga, kata Aziz, adalah memperkuat Marketing Industri dan jasa Halal kita baik memperkuat Positioning, Diferensiasi dan Branding (PDB) di pasar internasional. Untuk itu juga harus dibenahi hal-hal yang mendasar untuk peningkatan produksi dan pasokan nasional.
Harus ada perbaikan agricultural supply chain, maritime supply chain, dan supply chain pada SDA sebagai rantai halal dan diharapkan menjadi pusat pertumbuhan dan produksi baru. Perbaikan Ekosistem dan Industrialisasi sektor halal butuh kebijakan yang kuat bukan sekedar retorika dan pelaksanaan kebijakan yang konsisten.
"Kita sangat terlambat dan sayang juga sangat lambat untuk bergerak mengejar ketertinggalan tersebut. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal sudah lima tahun sebagai turunan UU tahun 2014 belum juga selesai. Jadi dalam konteks kebijakan saja belum sungguh-sungguh, apalagi penyiapan lanskap industrialisasi halalnya, tentu masih berat," jelasnya.