EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, tantangan terbesar bagi ekonomi Indonesia pada 2019 tidak terlepas dari neraca pembayaran yang berkelanjutan. Khususnya, dalam meningkatkan nilai ekspor yang saat ini pertumbuhannya masih setengah lebih rendah dibanding dengan impor.
Menurut Sri, neraca pembayaran menjadi concern pemerintah bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). "Jajaran pemerintah daerah juga turut dilibatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi," tuturnya dalam acara CNBC Economic Outlook Report di Jakarta, Kamis (28/2).
Terlepas dari itu, Sri optimistis prospek ekonomi Indonesia pada 2019 masih positif. Termasuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan dalam APBN 2019 adalah 5,3 persen. Di samping faktor konsumsi yang akan terus menguat, tanda-tanda peningkatan investasi juga mulai terlihat.
Faktor-faktor tersebut dikombinasikan dengan suku bunga yang relatif stabil. Dampaknya, rasa percaya diri para pelaku pasar tetap terjaga. "Oleh karena itu, nilai tukar ataupun resiliensi akan terus terjaga pada 2019," tutur Sri.
Kunci pertumbuhan lainnya adalah percepatan infrastruktur yang akan terus berlanjut. Pada tahun ini, setidaknya lebih dari Rp 410 triliun akan dibelanjakan untuk infrastruktur. Angka lebih besar ditujukan pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui sektor pendidikan yang akan mencapai Rp 500 triliun.
Selain itu, belanja untuk kesehatan mencapai Rp 1.123 triliun dan belanja untuk mengurangi kemiskinan maupun kesenjangan adalah lebih dari Rp 300 triliun. "Hal ini seiring dengan fokus pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dengan disertai kualitas SDM yang semakin membaik," ujar Sri.
Optimisme juga terlihat dari penerimaan pajak 2018 yang menunjukkan double digit di berbagai sektor. Pada sektor manufaktur, pertumbuhannya masih berada di kisaran 11 persen, sementara sektor perdagangan sekitar 23 persen dan industri jasa keuangan tumbuh 12 persen.
Menurut Sri, pertumbuhan penerimaan pajak ini menggambarkan bahwa produksi di seluruh sektor tersebut masih kuat. Ketika mereka terus melakukan produksi, pada saat bersamaan, mereka juga membutuhkan investasi baru untuk menambah kapasitas. "Ini yang kami tangkap sebagai pertanda bahwa terjadi kemudahan investasi," ucapnya.
Sementara itu, Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai, likuiditas perbankan pada tahun ini terbilang aman. Sebab, OJK rutin mengukur dana perbankan yang ‘terparkir’ di sejumlah titik seperti Bank Indonesia, treasury dan surat berharga.
Pada 2018, industri perbankan diketahui memiliki tantangan dalam menghadapi likuiditas yang ketat. Menurut Wimboh, kondisi tersebut merupakan dampak dari gencarnya bank menyalurkan kredit di tengah DPK yang minim.
Pada tahun ini, Wimboh mengatakan, likuiditas kembali normal. LDR bisa naik ataupun turun, namun DPK akan naik karena kondisi rupiah dan upaya BI dalam melakukan stabilitas. "Likuiditas sendiri adalah isu temporary," ucapnya.