EKBIS.CO, JAKARTA -- Tarif kantong plastik tak gratis (KTPG) atau plastik berbayar sebesar Rp 200 oleh Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) dinilai masih minim dan tak akan mampu mendongkrak efektifitas pengurangan sampah plastik. Efeknya, masyarakat menganggap tarif tersebut sangat terjangkau sehingga mengabaikan bahaya kantong plastik itu sendiri bagi lingkungan.
“Misalnya ada konsumen belanja Rp 50 ribu, lalu ditambahkan Rp 200 untuk biaya plastik, itu bagi mereka pasti tidak masalah. Nggak akan terasa juga bebannya,” kata Manager Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (2/3).
Dia menjelaskan, dalam beberapa survei yang dilakukan Walhi terkait tarif plastik berbayar, ideal tarif plastik yang dibayarkan konsumen berkisar Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per plastik. Tarif yang dinilainya tinggi itu, bukan merupakan ongkos ganti biaya produksi plastik, melainkan biaya ganti rugi lingkungan.
Sebab, dia menjelaskan, alokasi anggaran negara terkait pengelolaan sampah rumah tangga dan juga sampah plastik tidak pernah dianggarkan. Baru pada 2019, melalui anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN), pemerintah mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah sebesar Rp 800 miliar.
“Jumlah itu sangat sedikit sekali, apalagi sampah plastik di Indonesia sudah menggunung-gunung,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat Indonesia mengkonsumsi 5,6 juta ton plastik setiap tahun yang mana sebanyak 1,67 ton merupakan plastik impor dan 2,3 juta tonnya merupakan plastik produksi dalam negeri. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,7 juta ton menjadi sampah plastik, 1,5 juta ton tertangani, sementara 200 ribu ton per tahun tidak tertangani sama sekali.
Sementara itu berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah di Indonesia berkisar 65 juta ton per tahun. Sebanyak 15 persen (9,7 juta ton) merupakan sampah plastik.
Untuk itu pihaknya mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk regulasi yang mencakup ke tingkat kabupaten dan kota. Terlebih di beberapa daerah, kata dia, telah ada peraturan daerah tentang pelarangan penggunaan kantong plastik seperti Kota Bogor, Bali, Banjarmasin, dan Balikpapan yang masih berjalan.
“Kalau pemerintah dapat membuat regulasi yang baik di tingkat daerah, maka pengurangan kantong plastik bisa ditekan,” katanya.
Selain regulasi di tingkat daerah, dia juga mendorong pemerintah untuk segera mengkaji penerapan cukai plastik. Sebab, cukai plastik menjadi salah satu alternatif solusi yang berjangka panjang, tidak seperti penerapan plastik berbayar yang dinilai sebagai solusi sementara semata.
Menurutnya, cukai plastik dapat menekan pengurangan sampah secara efektif dari hulu ke hilir. Sebab, biaya cukai yang dikenakan ke plastik akan tersalurkan sebagai anggaran pengelolaan sampah plastik secara berkelanjutan.
“Nanti, sektor produsen di pasar tradisional juga akan diatur cukainya. Karena memang kontribusi plastik di sektor itu justru lebih banyak dibanding yang di ritel,” katanya.
Selain dinilai efektif, kebijakan cukai plastik juga dapat mengakomodasi pengurangan sampah-sampah plastik lainnya di luar kantong plastik atau kresek. Sampah plastik seperti botol, sedotan, dan jenis sampah lainnya juga masuk ke dalam biaya cukai. Sehingga, dia menilai, hal itu akan berkontribusi efektif dalam pengelolaan sampah tanpa perlu mencari alokasi dana dari APBN.
Sementara itu Komite Pemantau Kantong Plastik Ramah Lingkungan Indonesia Adrie Charviandi menilai, instruksi Aprindo tak berbeda jauh dengan kebijakan di beberapa daerah tentang pelarang kantong plastik yang tidak memiliki acuan dasar kebijakan yang baik sehingga menimbulkan polemik yang dirasakan pihak industri kantongan dan industri kantong plastik.
“Ini mengindikasikan ritel seperti menguntungkan diri sendiri, sehingga persoalan krusialnya tentang pengurangan plastik tidak bisa berjalan secara signifikan,” kata Adrie.
Untuk itu dia menyarankan pemerintah harusnya mampu meredam inisiatif-inisiatif sejumlah pihak dengan segera mengeluarkan regulasi kantong belanja plastik. Dia juga menilai, peran KLHK sebagai ujung tombak regulator lingkungan sangat lemah. Hal itu, kata dia, dengan dialihkannya kewenangan penyelesaian sampah di laut kelada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Pihaknya mendorong KLHK untuk terus memperhatikan lima aspek pengelolaan sampah antara lain hukum, kelembagaan, pendanaan, sosial budaya, dan aspek teknologi. Selain itu, sebagai solusi jangka panjang, pihaknya mendukung penerapan cukai plastik yang masih berproses di lingkup Kementerian Keuangan.