EKBIS.CO, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyarankan pemerintah memangkas rantai distribusi daging sapi. Hingga kini rantai distribusi daging sapi dinilai masih menimbulkan berbagai beban biaya tambahan yang mesti ditanggung oleh pihak konsumen di Tanah Air.
"Rantai distribusi dimulai dari peternak yang menjual sapi ke pedagang berskala kecil atau ke feedlot. Kemudian berlanjut ke pedagang berskala besar, pedagang regional, pedagang grosir di rumah potong hewan, pedagang grosir di pasar, pedagang eceran hingga ke konsumen. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah karena biaya-biaya tersebut pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen," papar peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman dalam rilis kepada Republika, Kamis (14/3).
Menurut Assyifa, panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal memengaruhi harga daging sapi tersebut di pasaran. Hal itu, ujar dia, terjadi karena munculnya biaya-biaya tambahan, seperti biaya transportasi.
"Daging sapi lokal melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen," ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa sistem distribusi daging sapi impor hanya membutuhkan maksimal dua titik distribusi untuk mencapai konsumen. Rantai distribusi ini tercipta karena daging sapi impor merupakan produk siap masak yang tidak membutuhkan tempat penggemukan hewan, rumah potong hewan dan para pedagang di tempat penampungan ternak sebelum dapat dikonsumsi.
"Selain itu, pengembangan ternak sapi di Indonesia juga seringkali menghadapi tantangan, seperti kurangnya kapasitas peternak serta minimnya penguasaan mereka terhadap teknik ternak dan teknologi yang efisien," kata Assyifa menambahkan.
Lebih lanjut ia memaparkan, efisiensi peternakan dapat dimulai dengan adanya modernisasi praktik peternakan yang berfokus pada minimalisasi biaya produksi. Walau, menurutnya, ada sebagian yang sudah melakukan hal tersebut seperti melalui modernisasi alat pemotongan.
"Namun ada juga peternakan lain di Indonesia yang walaupun sudah melakukan hal tersebut tapi masih harus mengeluarkan biaya produksi yang mahal karena memang minimnya skala keekonomian peternakan mereka," tuturnya.