EKBIS.CO, JAKARTA -- Peraturan Daerah (Perda) Wisata Halal Provinsi Sumatra Barat diperkirakan segera rampung pada tahun ini. Perda ini akan mencakup beberapa perspektif mengenai apa saja aspek yang harus diwajibkan untuk membangun prinsip- prinsip wisata halal.
Ketua Tim Ahli Penyusunan Perda Wisata Halal, Sari Lenggogeni mengungkapkan, Perda ini nantinya akan menyamakan persepsi masyarakat mengenai wisata halal yang saat ini masih bias.
"Intinya masalah pemahaman pariwisata halal, yang jadi bias di masyarakat bahwa wisata halal sama dengan wisata religi. Draft sudah rampung, Inshaallah tahun ini atau tahun depan setelah RIPPAR (Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi) selesai, ini akan jalan," ujar Sari kepada Republika.co.id, Senin (25/3).
Penyusunan draft Perda ini sudah dimulai sejak 2017. Menurut Sari, tidak adanya Perda mengenai hal ini yang menyebabkan wisata halal dinilai masih kurang berkembang. Regulasi ini harus diperkuat ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Adanya regulasi ini akan membantu masyarakat untuk menyamakan persepsi atau memahami mengenai wisata halal. Sementara itu bagi para stakeholder, Perda akan membantu untuk membangun arah atau roadmap wisata halal yang harus didukung oleh Kementerian Pariwisata.
Menurut Sari, sosialiasi atau pemasaran mengenai wisata halal akan kurang efektif jika tidak memiliki roadmap. Dia menilai, pemasaran adalah hal terakhir dalam pengembangan pariwisata. Karena apabila pemasaran dilakukan sedangkan produk tidak siap, maka produk akan hancur karena tidak ada keberlanjutan.
"Pariwisata halal mendukung pariwisata berkelanjutan, karena mempertahankan reservasi local wisdom," kata Pakar Pariwisata Universitas Andalas ini.
Beberapa hal yang akan dicantumkan dalam Perda antara lain mengenai apa saja yang harus disediakan untuk membangun prinsip- prinsip wisata halal. Pertama, masjid atau mushola yang terkelola dengan baik. Kedua, pengawasan industri. Karena walaupun mereka percaya wisata negara mayoritas muslim makanannya pasti halal, namun perlu ada pengawasan dari lintas dinas setempat.
Apalagi di Indonesia banyak industri yang sangat mikro seperti warung dan kaki lima yang akan muncul di keramaian. Dan ini belum ada keteraturan, kata Sari, karena perekonomian kita belum merata secara distibrutif. "Inilah yang pada akhirnya terkecoh. Contohnya ada sate babi di padang, di daerah yang mayoritas muslim dan diyakini pasti semua makanan halal," jelasnya.
Ketiga, perlu ada investasi untuk mendukung industri wisata-wisata halal. Selama ini pengembangan masih menggunakan insentif dan subsidi yang masih terbatas, sementara UMKM jumlahnya banyak. Menurut Sari, inilah yang perlu didukung bersama, apakah sistemnya melalui subsidi pemerintah atau CSR terhadap untuk home industry, seperti untuk membantu sertifikasi halal.