EKBIS.CO, JAKARTA – Staf Khusus Menteri Luar Negeri Peter F Gontha menegaskan, rencana retaliasi pemerintah terhadap kebijakan diskriminatif sawit oleh Uni Eropa melalui beragam cara. Menurutnya, retaliasi bisa disampaikan melalui protes ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), jalur hukum, hingga retaliasi perdagangan terhadap suatu barang.
Saat ini, ungkap Peter, pemerintah masih menunggu keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). “Jadi retaliasi jangan dimaknai secara harfiah, kita lihatnya harus secara menyeluruh,” kata Peter kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (27/3).
Pemerintah sejauh ini, kata dia, masih menunggu respons Uni Eropa di WTO. Sambil menunggu keputusan tersebut, pemerintah mempersiapkan opsi keputusan berdasarkan keputusan yang disetujui, tidak disetujui, atau bahkan kemungkinan tidak ada keputusan sama sekali oleh Uni Eropa.
Diketahui sebelumnya, pemerintah mengancam akan memboikot produk-produk Uni Eropa untuk melawan diskriminasi yang dilakukan negara-negara di kawasan tersebut terhadap kelapa sawit. Retaliasi dagang akan diambil pemerintah jika parlemen Eropa menyetujui rancangan kebijakan dalam Renewable Energy Directive (RED) II yang diajukan Komisi Eropa pada 13 Maret lalu.
Menurutnya, skenario terburuk berupa pernyataan no more palm oil oleh Uni Eropa untuk target 2021 pemenuhan biodiselnya. Dia menegaskan, penggunaan biodisel tidak secara langsung dapat menghilangkan penggunaan fuel sama sekali.
“Kalau mereka katakan mau bikin listrik, listriknya itu dibikin pakai apa? Kan harus pakai fuel juga. Begitu pun dengan pesawat, mobil, dan lainnya,” katanya.
Di samping itu dia menilai, penggunaan biofuel juga membutuhkan persiapan baik dari sisi teknis, legalisasi, hingga perpajakannya. Biofuel membutuhkan banyak infrastruktur yang harus dilihat secara komprehensif dan harus dipersiapkan secara matang ke depannya. Menurutnya, pada waktunya energi akan dipakai baik energi terbarukan, energi matahari, maupun biofuel.