EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Asia Pasifik Rayon (APR) Basrie Kamba menilai, tingkat kebutuhan viscose rayon global semakin bertambah seiring dengan kebutuhan tekstil yang meningkat. Hal itu terlihat dari tren permintaan produk viscose dunia berkisar 5,6-5,8 juta, atau mewakili tiga persen dari konsumsi tekstil seluruh dunia. Diprediksi, permintaan viscose dapat menyentuh level 8 juta ton pada 2020.
“Karena kebutuhan pasar yang tinggi itulah, kita berani untuk investasi kembangkan viscose rayon ini,” kata Basrie saat ditemui Republika.co.id, di Grand Mercure, Jakarta, Jumat (29/3).
Adapun APR merupakan pelaku industri tekstil yang mengutamakan aspek berkelanjutan dengan menanam sendiri bahan baku tekstil di dalam negeri. Dengan tajuk plantation to fashion, produk tekstil APR didukung oleh biomas terbarukan dan teknologi hemat energi yang pabriknya berbasis di Riau.
Sementara itu, APR sendiri didirikan dengan investasi sebesar 740 juta dolar AS atau senilai Rp 19,9 triliun, kapasitas produksinya mencapai 240 ribu ton per tahun dan akan mengekspor sedikitnya 50 persen serat viscose rayon ke sejumlah negara. Sementara sisa produksinya, ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri.
Dia menjelaskan, selama sekian dekade Indonesia selalu menjadi eksportir tekstil yang lumayan besar. Kehadiran APR dengan produk viscose rayon, kata dia, akan turut serta menambah peran pasar Indonesia masih di bawah dua persen dari tingkat produksi tekstil dunia.
“Jadi sekarang sekitar dua persen itu nilainya sekitar 13 miliar dolar AS, nanti di 2030 kita targetkan jadi lima persen atau 75 miliar dolar AS,” katanya.
Basrie menambahkan, nantinya para pelanggan APR meliputi dunia industri seperti pabrik kain, pabrik benang, maupun sejumlah pabrik tekstil lainnya. Nantinya, produk-produk dari sejumlah pabrik tersebut akan menjual hasil produk mereka ke brand-brand fesyen ternama di sejumlah negara. Selain dapat menjangkau pasar global, produksi viscouse di dalam negeri juga dapat menyerap tenaga kerja yang signifikan.
Sementara itu Menteri Perindustrian Airlangga Hartato mengatakan, hadirnya APR sebagai produsen serat viscose rayon terintegrasi pertama di Asia Tenggara akan memberikan dampak positif pengurangan impor bahan baku mentah di industri tekstil. Menurutnya, produktivitas serat viscose rayon perlu digenjot guna memasok kebutuhan domestik, bahkan mampu melakukan ekspor.
“Viscose ini produk bahan bakunya dari dalam negeri, jadi bisa mengurangi devisa impor,” kata Airlangga saat ditemui di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Jumat (29/3) malam.
Dia menjelaskan, Indonesia memiliki daya saing yang tinggi untuk produk hasil hutan. Sebagai salah satu industri andalan Indonesia, sektor tekstil berpeluang mendapatkan aliran investasi sebab kebutuhan dunia akan produk tekstil terus meningkat.
“Sekarang ada second wave juga dari investasi, masuk ke Indonesia,” katanya.
Terlebih saat ini, kata dia, pemerintah juga terus mendorong iklim industri dan perdagangan seiring dengan kerja sama bilateral antara pemerintah Indonesia dengan sejumlah negara. Dia mencontohkan, salah satunya ada penekenan kerjasama komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) baru-baru ini.
Dia juga menyebut, penekenan kerja sama komprehensif dagang antarnegara juga sedang diupayakan pemerintah antara lain dengan negara-negara di Eropa. Pihaknya berharap produk tekstil Indonesia dapat masuk ke pasar Eropa meskipun terdapat tantangan akibat diskriminasi sawit yang dilakukan Uni Eropa saat ini.
“Kita akui ada tantangan di sana (Uni Eropa), tapi akan kita upayakan masuk,” katanya.
Ketua Umum Indonesia Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma menilai, kebutuhan viscouse dunia memang sangat tinggi. Di sektor fashion, bahan viscose rayon kerap digemari sebab tidak nyaman dan adaptif terhadap cuaca.
Di negara-negara dengan tingkat kependudukan Muslim yang mendominasi, kata dia, kebutuhan fesyen berbahan viscose rayon kerap digemari. Seperti di negara Turki, Timur Tengah, dan sejumlah negara Muslim lainnya. Dia juga menyebutkan, saat ini produsen viscose masih minim sehingga belum bisa mengimbangi kebutuhan pasar yang tinggi.
“Produsen viscouse terbesarnya baru ada Cina dan India, setelah ada APR ini, Indonesia menyusul. Ada kemungkinan (Indonesia) bisa menjadi kedua terbesar setelah Cina,” katanya.