EKBIS.CO, Kebijakan penangkapan kapal ilegal asing yang terus digencarkan dinilai masih belum cukup. Diperlukan kebijakan lanjutan untuk meningkatkan kapasitas nelayan agar dapat lebih memanfaatkan sumber daya ikan yang kini diklaim berlimpah.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengatakan, dari hasil analisis Kiara, penerapan sanksi kepada pelaku yang tertangkap masih belum optimal. Ia mencatat, dari 115 kasus yang ditangani pengadilan selama 2015-2018, maksimal denda yang diterapkan tidal lebih dari Rp 6 miliar serta kurungan yang hanya enam bulan penjara.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pelaku IUU Fishing dapat di denda maksimal Rp 20 miliar serta kurungan paling lama enam tahun penjara. “Kita tidak bisa diputar-putar dalam urusan kegembiraan penangkapan. Setelah ini lalu apa?” ujar Susan, belum lama ini.
Susan menekankan, publik menunggu gebrakan baru yang lebih daripada sekadar penangkapan. Meskipun, upaya penangkapan kapal yang dilakukan patut diapresiasi karena hanya Indonesia yang berani menindak dibanding negara-negara Asean.
Di sisi lain, Kiara kembali mengingatkan program bantuan alat tangkap dan kapal tangkap untuk nelayan. Sebab, banyak nelayan terdampak dan tak bisa melaut akibat adanya berbagai aturan baru yang ditetapkan KKP, khususnya terkait penggunaan alat tangkap ramah lingkungan.
Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, mengatakan, upaya yang dilakukan KKP selama empat tahun terakhir belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya. Khususnya dalam meningkatkan pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Indonesia.
Mengacu pada catatan KNTI, terjadi peningkatan stok ikan di laut dari 6,5 juta ton pada 2009 menjadi 13,1 juta ton pada tahun 2018. Namun, produksi perikanan yang terdata saat ini masih stagnan di angka 6,5 hingga 6,6 juta ton per tahun, atau 50 persen dari stok ikan yang tersedia.
Marthin mengatakan, berdasarkan maksimum lestari pemanfaatan sumber daya perikanan, pemanfaatan produksi perikanan maksimal 80 persen dari total stok ikan. “Berarti pemanfaatan ikan kita cenderung stagnan, karena masih ada 30 persen lagi yang belum dimanfaatkan oleh nelayan,” ujarnya.
Stagnasi produksi perikanan, menurut KNTI, disebabkan oleh banyak variabel. Oleh karena itu, pemerintah ke depan perlu lebih memperkuat kelembagaan nelayan. Tujuannya yakni agar nelayan dapat mengembangkan usahanya dan menjangkau sumber daya perikanan yang mulai meningkat seiring penangkapan kapal yang masif.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan, Winarno Thohir, menilai, penangkapan kapal yang digencarkan KKP sudah tepat dan sesuai. Sebab, upaya itu menjadi satu dari sekian cara agar kekayaan laut yang dimiliki Indonesia bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh nelayan.
Hanya saja, senada dengan Susan dan Marthin, Winarno kembali menekankan soal bantuan alat tangkap. Sebab, ia mengakui, harga alat tangkap bisa lebih mahal dari kapal nelayan. “Nah ini, kalau alat tangkap yang dipunya sekarang dilarang, terus bagaimana? Pemerintah menjawab akan dibantu. Tapi, ya tidak semua dibantu,” katanya.
Pada 2019 ini, total anggaran DIPA Induk KKP mencapai Rp 5,4 miliar. Salah satu prioritas progam tahun ini yakni pengadaan 300 unit kapal tangkap berkapasitas 5 gross ton dan dibawah 5 gross ton serta satu unit kapal 60 gross ton. Selain itu, KKP menargetkan penyediaan 2.000 alat penangkap ikan ramah lingkungan.
KTNA mengusulkan, keterbatasan anggaran perlu disiasati. Caranya, menurut dia, dengan mengalihkan anggaran tersebut kepada bank agar dapat digunakan untuk mensubsidi kredit usaha rakyat (KUR) yang saat ini sebesar 7 persen. Dengan begitu, nilai kredit yang diterima nelayan dapat lebih rendah.
Nelayan, kata Winarno, lebih baik diberi bantuan berupa kredit rendah agar mereka dapat membeli sendiri alat tangkap sesuai kebutuhan dan ketentuan. “Daripada kita menunggu diberikan tapi tidak semua dapat. Ini contoh solusinya,” katanya.
Winarno mengatakan, penangkapan kapal ilegal harus dibarengi langsung dengan peningkatan kapasitas nelayan. Sebab, mereka orang-orang asing yang masuk ke perairan Indonesia sudah berada pada tahap menangkap ikan. Dengan teknologi yang dimiliki, kapal asing tahu betul titik-titik ikan bergerombol. Sementara, nelayan tradisional Indonesia baru pada tahap mencari ikan.