EKBIS.CO, MAKASSAR -- Seiring berlangsungnya perundingan negara-negara penghasil kelapa sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dengan Uni Eropa, pemerintah Indonesia perlu menyiapkan langkah untuk menyerap produksi sawit di dalam negeri. Selain perlu meningkatkan konsumsi, pemerintah juga didorong untuk terus memperluas pasar ekspor di luar Uni Eropa.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung menilai, produksi kelapa sawit harus tetap berlangsung karena merupakan jenis tanaman yang dapat menghasilkan dalam jangka panjang. Untuk itu dia menilai, pemerintah perlu memacu pengembangan hilirisasi khususnya pengembangan teknologi biodisel 30 persen (B30), green fuel, green gasoline, hingga green avtur untuk menyerap konsumsi.
“Targetnya tahun 2025, 30 persen produksi dalam negeri adalah untuk fuel. Itu terus ayo kita kembangkan,” kata Tungkot saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (10/4).
Di samping itu, kata dia, jika pengembangan tersebut terealisasi dan ditambah dengan jumlah konsumsi sawit nonfuel sebesar 15 persen yang ada, konsumsi sawit dalam negeri dapat terserap sekitar 45 hingga 50 persen. Artinya, sisa produksi lainnya dapat didistribusikan sebagai produk ekspor melalui perluasan pasar yang digalakkan pemerintah.
Menurutnya, terdapat beberapa negara yang telah berkomitmen menaikkan impor sawitnya dari Indonesia seperti Cina dan India. Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa kebutuhan dunia akan kelapa sawit masih sangat relevan. Kendati demikian, kata dia, perluasan pasar juga tidak boleh mengabaikan pasar ekspor yang sudah ada seperti Eropa.
Adapun negara-negara dengan potensi pasar ekspor sawit Indonesia berada di sejumlah kawasan, antara lain Afrika, Pakistan, Bangladesh, hingga Asia Tengah. Kesemua negara-negara di kawasan tersebut dapat dimasuki melalui India, Pakistan, dan juga Cina. Dia menilai, potensi pangsa pasar di kawasan Afrika dan Asia Tengah porsinya jauh lebih besar dari yang bisa diserap Eropa.
“Maka kuncinya, kita harus adakan perjanjian dagang. Pintu masuk ekspor sawit kita itu bisa dari India dan Cina saya rasa,” kata dia.
Dicoretnya sawit sebagai bahan bakar nabati oleh Uni Eropa terkesan ganjil. Alasannya, dalam penelitian sawit yang dilakukan tim peneliti International Food Policy Research Institute European Commission pada kurun 2010-2011, minyak sawit terbukti menjadi bahan baku yang paling rendah emisi jika dibandingkan dengan minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak sun flower.
Artinya, kata dia, jika alasan dicoretnya sawit sebagai komoditas yang tidak ramah lingkungan, Uni Eropa telah membelakangi hasil penelitian yang telah dilakukannya sendiri. Dia menilai, upaya diskriminasi sawit oleh Uni Eropa dilakukan karena neraca perdagangan mereka terhadap Indonesia mengalami defisit. Diketahui, dalam kurun lima tahun berturut-turut neraca perdagangan Indonesia selalu surplus terhadap Eropa.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), nilai ekspor dan impor Indonesia ke Eropa masing-masing sebesar 17,1 miliar dolar AS dan 14,1 miliar dolar AS pada 2018. Adapun total perdagangan Indonesia dengan Eropa mencapai 31,2 miliar dolar AS atau meningkat 8,29 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017. Sementara itu, ekspor Indonesia ke Eropa meningkat 4,59 persen dengan posisi surplus bagi Indonesia lima tahun terakhir.
Untuk itu, Tungkot mendukung langkah pemerintah Indonesia bersama CPOPC untuk memperjuangkan sawit di Eropa. Selain alasan strategis perdagangan dan serapan produksi komoditas tersebut, langkah pemerintah juga dapat meredam efek domino yang bisa saja terjadi bila Indonesia tidak menunjukkan taji di kancah global.
“Nanti negara-negara lain bisa meremehkan kita, bisa bahaya. Maka harus maju terus,” katanya.
Senada dengan hal itu, Corporate Affairs Director Asian Agri Mohamad Fadhil Hassan mendukung langkah pemerintah dalam melakukan diversifikasi pasar untuk mengantisipasi keputusan yang tidak memihak sawit. Adapun diversifikasi pasar dapat dilakukan dengan memasuki negara-negara seperi Pakistan, Bangladesh, negara-negara Mediterania dan Timur Tengah.
“Kita juga akan dorong terus supaya konsumsi dalam negerinya aktif,” kata dia.