Senin 15 Apr 2019 17:14 WIB

Ekspor CPO ke Eropa Bisa untuk Bahan Baku Produk Lain

Indonesia dapat masuk ke UE dengan CPO untuk bahan baku kosmetik hingga makanan jadi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Pematang Raman, Kumpeh, Muarojambi, Jambi, Jumat (15/2).
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Pematang Raman, Kumpeh, Muarojambi, Jambi, Jumat (15/2).

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa (UE) masih mengalami surplus pada periode Januari hingga Maret 2019. Kondisi ini berlangsung di tengah suasana panas kedua belah pihak terkait minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). 

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, total ekspor Januari hingga Februari pada tiga bulan pertama tahun ini adalah 3,6 miliar dolar AS. Sedangkan, nilai impornya 3,02 miliar dolar AS. "Neraca dagang kita mengalami surplus 587 juta dolar AS," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/4). 

Baca Juga

Untuk sawit, Suhariyanto menambahkan, terjadi penurunan di beberapa negara UE. Misalnya saja ke Inggris yang mengalami penurunan selama Januari hingga Maret 2019 sebanyak 22 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Sementara, ke Belanda, penurunannya lebih besar, yakni 39 persen. 

Menurut Suhariyanto, salah satu penyebab terbesar penurunan tersebut adalah adanya kampanye negatif mengenai CPO. Tapi, pemerintah sudah melakukan sejumlah langkah antisipasi, termasuk membuka dialog dengan UE bersama negara produsen CPO lainnya. "Kita harapkan efektivitasnya," tuturnya. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, komoditas CPO untuk biodiesel yang kini tengah dihalangi ke UE memiliki porsi tidak terlalu besar dibanding dengan komoditas lain. Indonesia masih mengekspor produk pertanian seperti sayur-sayuran dan bahan dari kulit serta alas kaki yang mampu menopang neraca dagang Indonesia dengan UE.

Bhima menambahkan, terjadi penurunan impor dari UE, seperti mesin. Salah satu penyebabnya, industri manufaktur di Indonesia yang sedang mengalami perlambatan pertumbuhan sehingga permintaan untuk mesin impor ikut melambat. "Jadi, impor kita berkurang yang menyebabkan kita masih surplus," katanya. 

Namun, Bhima menekankan, pemerintah perlu mencermati penurunan ekspor sawit ke UE dengan diversifikasi produk. Saat ini, produk yang dihambat adalah CPO untuk biofuel. Indonesia dapat masuk ke UE dengan CPO untuk bahan baku kosmetik hingga makanan jadi.

Selain itu, Bhima menambahkan, diversifikasi produk juga harus dilakukan di luar CPO dan turunannya. Misalnya, pasar dari produk turunan kulit yang kini masih dinikmati di Italia dan Paris. Alternatif lain, kopi vanili yang pasarnya terus terbuka di negara-negara UE.

Bhima menjelaskan, pemerintah juga perlu mendorong kebijakan non-tariff measure atau non-tariff barrier. Saat ini, hambatan nontarif di Indonesia masih rendah, khususnya untuk produk pertanian. "Dampaknya, susu sapi pun masih dominan impor, padahal Indonesia dapat memproduksinya sendiri," tuturnya. 

Secara umum, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada Maret 2019 mencapai 1,10 miliar dolar AS. Angka tersebut turun 0,61 persen dibanding dengan Februari yang mencapai 1,11 miliar dolar AS. Sementara itu, dalam periode Januari sampai Maret 2019, nilai ekspornya mencapai 3,60 miliar dolar AS yang turun 16 persen dibanding dengan periode sama di tahun 2018, yakni 4,27 miliar dolar AS. 

Dilihat dari impor, nilai secara bulanan mengalami kenaikan. Nilai impor pada Maret 2019 adalah 951 juta dolar AS, naik 9,29 persen dibanding dengan Februari 2019, yaitu 870,2 juta dolar AS. Secara akumulasi Januari sampai Maret 2019, nilai impornya 3 miliar dolar AS atau turun dari periode yang sama pada tahun lalu, yakni 3,5 mliar dolar AS. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement