EKBIS.CO, JAKARTA – Pertumbuhan industri makanan dan minuman pada kuartal IV 2018 anjlok di kisaran 2,74 persen jika dibandingkan dengan pertumbuhan di periode yang sama pada tahun 2017 sebesar 13,77 persen. Ke depan, pertumbuhan sektor industri tersebut dihadapkan pada tantangan ketersediaan bahan baku jika pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar sembilan persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, pemerintah perlu mencari solusi konkret guna menghasilkan ketersediaan bahan baku industri makanan dan minuman. Alasannya, selain adanya isu komoditas sawit yang dilancarkan Uni Eropa, produk impor makanan dan minuman juga semakin menguat masuk ke pasar.
“Impor produk makanan dan minuman ini masih tinggi, sehingga secara tidak langsung sangat berdampak pada pertumbuhan industri ini,” kata Enny saat dihubungi Republika, Ahad (21/4).
Selain itu, merosotnya pertumbuhan industri makanan juga disebabkan adanya penurunan ekspor ke sejumlah negara. Dia menjabarkan, sebagai salah satu bahan baku industri makanan dan minuman, diskriminasi sawit menjadi salah satu faktor krusial penyebab pertumbuhan industri makanan dan minuman pada kuartal IV tahun 2018 anjlok.
Dia mencontohkan, ekspor produk turunan sawit ke India mencapai kira-kira 54 persen. Jumlah tersebut, kata Enny, merupakan salah satu indikator kuat peran sawit dalam menopang berbagai sektor ekonomi, termasuk pada pertumbuhan industri makanan dan minuman.
“Kalau kita lihat di kuartal III, pertumbuhan industri makanan dan minuman ini tumbuh tujuh persen sebetulnya. Tapi memang, di kuartal IV ini cukup anjlok karena faktor sawit besar sekali,” kata dia.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memproyeksikan pertumbuhan industri makanan dan minuman dapat tumbuh di atas sembilan persen pada 2019. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers yang diterima Republika menyatakan, target pertumbuhan tersebut optimistis diraih sebab sektor tersebut mendapat tambahan investasi.
“Industri makanan dan minuman ini akan digelontorkan investasi sebesar Rp 63 triliun, naik 11 persen dari tahun kemarin,” kata Airlangga.
Adapun invetasi yang masuk menyasar ke berbagai sektor yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil (TPT), serta industri alas kaki sebesar Rp 79 triliun. Dari total tersebut setelah dibagi investasi ke sektor industri makanan dan minuman di atas, industri alas kaki dan TPT menyiapkan investasi masing-masing Rp 2,8 triliun dan Rp 14 triliun.
Airlangga menjelaskan, pemerintah saat ini menjadikan subsektor industri padat karya tersebut sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan manufaktur yang berorientasi ekspor nonmigas. Untuk itu pihaknya berkomitmen menggenjot kinerja sektor tersebut guna menarik investasi sebesar-besarnya.
Sementara itu berdasarkan catatan Kemenperin, investasi di sektor industri manufaktur trennya terus tumbuh signifikan. Pada 2014, penanaman modal masuk menyentuh Rp 195,74 triliun dan naik menjadi Rp 222,3 triliun pada 2018.
Airlangga mengklaim, adanya peningkatan investasi tersebut mendongkrak penyerapan tenaga kerja hingga 18,25 juta orang di 2018 atau berkontribusi secara penyerapan tenaga kerja secara nasional mencapai 14,72 persen.
Mengacu catatan tersebut juga, ekspor nonmigas mencapai 130 miliar dolar AS pada 2018 atau naik sebesar 3,98 persen dibanding tahun sebelumnya. Menurut Airlangga, kontribusi ekspor nonmigas pada 2018 mencapai 72,25 persen yang mana hal itu membuktikan bahwa produk-produk industri manufaktur lokal sudah cukup baik di kancah global.