EKBIS.CO, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati optimistis pemanfaatan tenaga panas bumi (geotermal) untuk bahan bakar pembangkit listrik akan membantu Indonesia mengurangi impor minyak dan gas (migas). Indonesia, kata Menkeu, memiliki potensi terbesar tenaga panas bumi di dunia, namun belum dimanfaatkan maksimal.
“Efek positif dari panas bumi sangat luar biasa. Kebutuhan listrik bisa terpenuhi, lingkungan terjaga, dan tentu kebutuhan impor minyak juga akan menurun,” kata Sri Mulyani, Kamis (25/4).
Menurutnya, panas bumi menjadi karunia besar yang diberikan oleh Tuhan kepada Indonesia. Karena itu, sudah seharusnya dimanfaatkan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
Indonesia sebagai negara kepulauan, ungkap Menkeu, memiliki tantangan tersendiri untuk mencapai rasio elektronifikasi sebanyak 100 persen. Karenanya, ia menekankan akses listrik mesti dipenuhi untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Mengutip data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor migas pada Maret 2019 mencapai 13,49 miliar dolar AS atau naik 10,31 persen dibanding Februari 2019. Adapun sepanjang kuartal pertama 2019, ekspos migas mencapai 4,78 miliar dolar AS.
Impor migas juga menjadi salah satu penyebab Indonesia saat ini mengalami defisit transaksi berjalan.
Meski begitu, kata dia, pembangunan pembangkit listrik juga harus disertai dengan pembangunan yang berkelanjutan untuk kelestarian lingkungan. Menurutnya, seringkali potensi sumber daya energi baru terbarukan terdapat di kawasan yang semestinya tidak dapat di eksplorasi, seperti hutan lindung.
Dalam situasi tersebut, Sri mengakui antara kewajiban menjaga lingkungan dan keinginan untuk mengeksplorasi sumber daya alam terbentur. Oleh sebab itu, setiap pembangunan pembangkit listrik berbasi energi baru terbarukan harus mempertimbangkan kedua sisi tersebut secara matang.
Lebih lanjut, Sri mengatakan, pemerintah siap untuk memberikan subsidi untuk menutup selisih antara harga EBT dan harga listrik di tingkat konsumen. “Tentu di awal akan butuh biaya besar, tapi habis itu pasti turun. Jadi seharusnya setiap proyek itu dibuat kebijakan untuk jangka waktu 15-10 tahun ke depan. Setelah itu tidak perlu disubsidi bahkan negara harusnya mendapatkan dividen,” ujar dia.