Kamis 02 May 2019 13:56 WIB

Nilai Tukar Petani Terus Merosot

Nilai tukar petani tanaman pangan merosot hingga 1,21 persen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani Indonesia.
Foto: Tahta/Republika
Petani Indonesia.

EKBIS.CO, JAKARTA – Nilai Tukar Petani (NTP) selama empat bulan terakhir terus merosot. Pada April 2019, NTP tercatat sebesar 102,23 poin atau anjlok 0,49 persen. Penurunan terbesar nilai tukar terdapat pada subsektor petani tanaman pangan, terutama padi.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, mengatakan, dibanding enam subsektor lainnya, nilai tukar petani tanaman pangan merosot hingga 1,21 persen. “NTP tanaman pangan mengalami penurunan yang paling curam. Ini karena harga yang diterima petani terus turun ketika musim panen raya gabah,” kata Suhariyanto di Jakarta, Kamis (2/5).

Baca Juga

Sesudai definisinya, NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang di bayar petani. Ketika NTP mengalami penurunan, maka mencerminkan harga yang diterima petani lebih rendah dari harga-harga yang harus di bayar petani.

Sementara khusus pada Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) cukup stabil di level 111,13 poin. Namun, kata Suhariyanto, jika diteilisik lebih lanjut, NTUP petani tanaman pangan juga mengalami penurunan terdalam, yakni 0,63 persen. NTUP merupakan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang di bayar petani khususnya yang meliputi biaya produksi dan penambahan barang modal.

Suhariyanto mengatakan, turunnya nilai tukar petani tanaman pangan akibat turunnya harga gabah dalam empat bulan terakhir seiring dengan masih berlangsungnya musim panen raya.

Berdasarkan pemantauan di 30 provinsi, dari 2.431 transaksi gabah yang dilakukan, sebanyak 19,13 persen gabah dijual petani dengan kualitas yang rendah. Itu disebabkan karena kondisi cuaca yang kurang baik terhadap tanaman padi sehingga membuat kadar air cukup tinggi.

BPS mencatat, penjualan gabah dari tingkat petani di beberapa daerah bahkan ada yang berada di bawah acuan pemerintah sebesar Rp 3.700 per kilogram (kg). Harga terendah itu terdapat di wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun harga tertinggi gabah ada juga yang menyentuh Rp 7.800 per kg.

“Jadi ini pekerjaan rumah kita dari tahun ke tahun. Bagaimana agar kita mampu menyerap produksi gabah dari petani,” kata Suhariyanto.

Adapun rata-rata harga gabah kering panen di tingkat petani secara nasional pada April sebesar Rp 4.357 per kg. Harga itu turun 5,37 persen dibanding Maret yang sebesar Rp 4.604 per kg. Sedangkan di tingkat penggilingan, harga gabah kering panen turun 5,53 persen dari Rp 4.706 per kg menjadi Rp 4.446 per kg.

Lebih lanjut, mengenai kondisi harga beras di tingkat penggilingan, BPS mencatat beras kualitas medium turun 4,30 persen menjadi Rp 9.144 per kg. Penurunan juga terjadi pada beras kualitas premium yakni 3,56 persen menjadi Rp 9.465 per kg. Itu sebabnya, kata Suhariyanto, meskipun disaat menjelang Ramadhan, harga beras justru deflasi sebesar 0,06 persen.

Namun, ia menekankan, ketiak beras menyumbang deflasi, laju inflasi bahan makanan secara umum tetap mengalami kenaikan sinigfikan. Hal itu dikarenakan komoditas pangan lain, seperti bawang merah dan bawang putih mengalami kenaikan harga yang tajam dan mendorong kenaikan laju inflasi secara signifikan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement