EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menjelaskan proyeksi pasar ekspor pada 2019 ini banyak tantangan. Meski begitu, Aprobi tetap berharap pasar ekspor masih menjanjikan. Tantangan yang dimaksud tak lain karena kebijakan Uni Eropa atas rencana pelarangan menstop ekspor biodiesel dari Indonesia.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan pada 2019 ini Aprobi memiliki dua target pencapaian pasar ekspor. Ada target pesimis dan target optimis. Ia menjelaskan, apabila dalam waktu berjalan Uni Eropa jadi memberlakukan penghambatan ekspor biofuelnya maka ekspor biofuel hanya berkisar 1,2 juta kiloliter hingga 1,3 juta kiloliter. Namun, jika Uni Eropa membatalkan rencana tersebut maka Aprobi optimis pasar ekspor bisa menyerap hingga 2 juta kiloliter.
"Titik pesmis 1,2 kiloliter sampai 1,3 juta kiloliter, titik optimis masih bisa 2 juta kiloliter. Nanti kita lhat Eropa bagaimana, kalau mereka tiba-tiba jatuh sanksi subsidi dengan bea masuk yang besar tentu akan drop," ujar Paulus di Kantor Aprobi, Kamis (2/5).
Namun apabila dilihat pada kuartal pertama tahun ini serapan ekspor masih baik. Paulus mengatakan pada kuartal pertama total ekspor sebanyak 173 ribu kiloliter. Hingga saat ini Eropa dan Cina masih merupakan pasar ekspor terbesar.
Meski tantangan blokade Eropa dan Amerika Serikat berjalan, sebetulnya pasar Eropa sangat membutuhkan pasokan biofuel dari Indonesia. Ketua Umum Aprobi MP Tumanggor mengatakan, beberapa industri yang lebih memilih membeli biofuel dari Indonesia karena harga yang lebih murah.
"Sebenernya industri di Eropa mau beli, kalau itu tidak jadi, tutup industri mereka," ujarnya.
Namun, jika Uni Eropa jadi memberlakukan penghentian ekspor, maka langkah yang diambil para pengusaha biofuel adalah mempertahankan pasar Cina dan India juga mendorong pemanfaatan biodiesel dalam negeri. "Pesimis itu berarti kita cuma Cina dan India pasarnya kita. Tapi kalau bea masuknya sampai 22 persen, kita gak mau ekspor," katanya.