EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebutkan, setidaknya ada empat faktor yang membuat rupiah dan IHSG melemah selama sepekan terakhir. Di antaranya ketidakpastian global dan domestik yang berimplikasi pada peningkatan aksi jual bersih investor asing sebesar Rp 3,6 triliun sepekan terakhir.
Selain itu, Bhima mengatakan, pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) di kuartal pertama 2019 sebesar 6,96 miliar dolar AS atau 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu jauh lebih lebar dibandingkan kuartal I 2018 yang sebesar 5,19 miliar dolar AS atau 2,01 persen PDB. "Pelebaran CAD membuat investor asing menarik dana dari pasar modal antisipasi plemahan fundamental ekonomi," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (14/5).
Faktor lainnya adalah peningkatan tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina. Kenaikan tarif bea masuk bisa memperparah kinerja ekspor tahun ini. Sebelumnya ekspor bulan Maret 2019 turun 10 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Bhima menjelaskan, faktor lain yang tidak kalah penting adalah kuartal kedua merupakan musim bagi-bagi dividen perusahaan domestik. Secara seasonal, investor asing yang mendapat dividen akan mentransfer dalam bentuk dolar AS dan kirim ke negara asalnya. "Aliran modal keluar karena pembagian dividen melemahkan rupiah," ucapnya.
Dikutip dari situs Bank Indonesia, pelemahan rupiah terhadap dolar AS sudah mulai terjadi sejak sepekan terakhir. Pada Selasa (7/5), nilai tukar rupiah adalah Rp 14.309 per dolar AS yang terus naik sampai Rp 14.347 per dolar AS pada Jumat (10/5). Terakhir, pada Selasa (14/5), nilainya sudah menyentuh Rp 14.444 per dolar AS.
Sementara itu, Board member Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arianto Patunru mengatakan, ada perspektif yang menyatakan pelemahan rupiah disebabkan oleh kegiatan impor. Perspektif ini memengaruhi para politisi untuk menolak impor dan membuat pemerintah mengurangi impor.
Arianto menambahkan, pada akhirnya, impor lebih dipandang sebagai kegiatan yang tidak nasionalis dan tidak pro rakyat. Padahal, Indonesia masih membutuhkan impor karena hasil produksi dalam negeri yang belum mencukupi kebutuhan industri.
Arianti menilai, perspektif yang salah ini berdampak pada upaya Indonesia untuk menerapkan langkah-langkah non-tarif dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menyebabkan kenaikan biaya produksi. "Pada akhirnya mengarah pada produk yang tidak bersaing dengan harga di pasar internasional," ucapnya dalam rilis yang diterima Republika, Selasa.