EKBIS.CO, JAKARTA -- Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada April 2019, kinerja ekspor membukukan 12,6 miliar dolar AS atau mengalami penurunan 13,1 persen dalam skala tahunan. Neraca perdagangan pada April 2019 pun mengalami defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS. Menghadapi ini, dalam jangka pendek pemerintah akan melakukan perbaikan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor.
Diketahui dari data BPS, sektor nonmigas pada periode April 2019 nilai ekspor membukukan 11,86 miliar dolar AS atau mengalami penurunan 10,98 persen dibandingkan ekspor nonmigas pada April 2018. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia pada periode Januari-April 2019 mencapai 53,20 miliar dolar AS atau menurun 9,39 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
“Jadi nanti kami akan pilih mana-mana saja yang komoditas sektor unggulan,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (17/5).
Adapun komoditas produk dan sektor unggulan ekspor yang akan digenjot, kata dia, merupakan sektor yang diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yakni sektor prioritas IR 4.0 yang terdiri dari industri makanan dan minuman (mamin), tekstil dan produk tekstil, elektronik, otomotif dan kimia. Sedangkan sektor yang bukan IR 4.0 terdiri atas industri perikanan, permesinan umum, serta produk lainnya seperti kayu, karet, dan furnitur.
Selain itu, pihaknya juga tengah menggenjot diplomasi ekonomi dan meingkatkan pembukaan akses pasar. Dia menjabarkan, adapun beberapa kebijakan yang telah dijalankan pemerintah guna memacu ekspor antara lain perbaikan iklim usaha melalui sistem Online Single Submission (OSS), fasilitas insentif perpajakan, dan pengembangan program vokasi.
Dia menilai, melemahnya kinerja ekspor Indonesia pada kuartal 1 2019 dipengaruhi penurunan harga dunia untuk produk-produk ekspor asal Indonesia. Adapun penurunan harga, kata dia, merupakan salah satu dampak perlambatan ekonomi dunia yang saat ini masih berlangsung.
Selain itu, menurut dia, kinerja ekspor yang kurang menggairahkan saat ini diakibatkan adanya perang dagang antara dua entitas besar perekonomian dunia, yakni Amerika Serikat dan Cina. Sedangkan, implementasi kebijakan proteksionisme sejumlah negara semakin masif.
“Saya kira, dari sisi dalam negeri juga masih banyak yang perlu dijaga. Misalnya stabilitas nilai tukar, peningkatan daya saing produk, hingga perbaikan infrastruktur penunjang perdagangan,” kata dia.