Sabtu 18 May 2019 07:10 WIB

Mayoritas Industri Kecil Mamin Belum Tersertifikasi Halal

Salah satu kendala belum tersertifikasi halal adalah mahalnya proses sertifikasi.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Seorang pedagang makanan dan minuman ringan menanti pembeli di Pasar Rakyat Peterongan, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/7). Untuk membentuk karakter wirausaha masyarakat Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Keuangan bersama Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)  tahun ini telah menerbitkan regulasi kredit pembiayaan ultra mikro (UMI) dengan alokasi anggaran Rp1,5 triliun bagi pengusaha mikro
Foto: Aji Styawan/Antara
Seorang pedagang makanan dan minuman ringan menanti pembeli di Pasar Rakyat Peterongan, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/7). Untuk membentuk karakter wirausaha masyarakat Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Keuangan bersama Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) tahun ini telah menerbitkan regulasi kredit pembiayaan ultra mikro (UMI) dengan alokasi anggaran Rp1,5 triliun bagi pengusaha mikro

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pelaku industri makanan dan minuman (mamin) berkisar 1,6 juta orang. Dari jumlah tersebut, mayoritasnya belum mengantongi jaminan produk halal (JPH). Jumlah yang tersertifikasi baru sekitar 11 ribuan pelaku industri. Minimnya jumlah industri mamin yang tersertifikasi disebabkan mahalnya biaya sertifikasi halal.

Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat mengatakan, dari 11 ribuan pelaku industri yang sudah mendapatkan sertifikasi JPH rata-rata berasal dari kalangan industri menengah ke atas. Artinya, sektor industri kecil mamin belum mempunyai kemampuan melakukan sertifikasi JPH.

Baca Juga

“Kendalanya macam-macam, salah satunya mungkin mahalnya sertifikasi halal tersebut,” kata Rachmat saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (17/5).

Rachmat menjabarkan, dengan adanya pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) JPH baru-baru ini, pihaknya melalui Gapmmi dimintai masukan dalam menyusun detail realisasi penerapan beleid tersebut. Salah satu yang sedang dibicarakan bersama pemerintah adalah mengenai kesiapan industri mamin terhadap JPH.

Menurut dia, dengan struktur konsumen Indonesia yang mayoritasnya penduduknya beragama Muslim, mayoritas industri mamin sudah terlebih dahulu menerapkan aspek-aspek kehalalan. Meski, dia mengakui, belum seluruhnya melaksanakan sertfifikasi. Dia berharap, adanya PP JPH dapat memberikan kelonggaran kepada pelaku industri kecil mamin yang ingin melakukan sertfikasi.

“Kalau peraturan yang dulu kan banyak kelemahannya. Terlalu berbelit, pengurusan izinnya lama, dan sekali lagi itu, mahal,” kata dia.

Terkait dengan kawasan industri halal, dia mencontohkan pemerintah Indonesia perlu melirik konsep yang diterapkan Malaysia dengan Halal Hub-nya. Dalam konsep tersebut, suatu kawasan industri yang terintegrasi sudah menerapkan seluruh aspek kehalalan dari mulai hulu hingga hilir. Sehingga, kata dia, pengeluaran sertifikasi halal dapat efisien secara waktu karena baik barang yang keluar maupun masuk dari kawasan tersebut sudah dipastikan halal.

Diketahui, PP JPH tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2019 tentang peraturan pelaksanaan Undang Undang Nomor 33 tahun 2014 mengenai jaminan produk halal. Beleid tersebut disahkan dan ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 29 April 2019.

Sebagai informasi, secara garis besar PP JPH berisi antara lain tentang kerja sama pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga, kerja sama internasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI), tata cara registrasi dan sertifikasi halal, serta lembaga pemeriksa halal dan auditor halal. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement