EKBIS.CO, JAKARTA -- Maskapai Penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, siap melakukan evaluasi rute penerbangan domestik dan internasional. Termasuk, untuk melakukan penutupan rute maupun pengurangan frekuensi penerbangan.
Direktu Niaga Garuda Indonesia, Pikri Ilham, mengatakan, penutupan maupun pengurangan frekuensi penerbangan akan dilakukan perseroan sebagai langkah efisiensi jika kondisi keuangan makin memburuk. Sebab, sebagai perusahaan publik dan berstatsu Badan Usaha Milik Negara, Garuda harus mencetak laba.
"Kita baru melakukan evaluasi, kita terpaksa melakukan itu (penutupan dan pengurangan penerbangan) agar kita tidak rugi sampai akhir tahun," kata Pikri kepada Republika.co.id, Rabu (22/5).
Ia menjelaskan, penutupan rute akan dilakukan untuk penerbangan domestik yang memakan biaya mahal dengan tingkat keterisian penumpang yang minim. Rute dengan karakteristik itu utamnnya adalah tujuan ke daerah terpencil dan terluar. Terutama kawasan Indonesia Timur.
Sejauh ini, Garuda Indonesia memiliki 80 rute penerbangan domestik. Khusus rute-rute yang terpencil dan terluar, rata-rata disubsidi keuntungan yang diperoleh perseroan dari rute penerbangan kota-kota besar. Seperti misalnya tujuan Surabaya, Yogyakarta, dan Medan
Namun, Pikri menekankan, penutupan rute khususnya di kawasan Indonesia Timur tidak akan dilakukan tanpa pertimbangan matang. Sebab, kawasan timur merupakan wilayah yang minim aksesibilitas jalur darat. Tidak seperti Indonesia kawasan barat yang telah tersambung dengan jalan-jalan nasional.
"Secara BUMN, Garuda tetap mementingkan kepentingan nasional. Jadi keputusan ini nanti apa kira-kira dampak terberat yang ditimbulkan," ujarnya.
Lebih lanjut, terkait pengurangan frekuensi penerbangan dilakukan terhadap penerbangan internasional. Pikri menyebut, salah satu penerbangan luar negeri yang kurang menguntungkan yakni yang menempuh jarak terpanjang seperti Jakarta-Amsterdam.
Saat ini rute tersebut memiliki frekuensi sebanyak enam kali seminggu. Setiap kali penerbangan, menghabiskan biaya operasional sebesar 400 ribu dolar AS.
Selain itu, rute Jakarta-Beijing juga kurang memiliki banyak penumpang. Hanya saja, rute itu sering digunakan untuk perjalanan pemerintah dan pembukaan Jakarta-Beijing juga atas dasar hubungan kedua negara. Saat ini, rute Jakarta-Beijing sebanyak lima kali dalam seminggu.
"Jadi kita lakukan penyesuaian saja antara permintaan dan jumlah penerbangan. Untuk Beijing kalau dikurangi kan bisa kita hemat tapi secara bilateral juga jalan," ujarnya.
Pikri mengatakan, kedua opsi tersebut akan dilakukan jika penurunan tarif tiket pesawat sebesar rata-rata 15 persen saat ini tidak mendorong peningkatan penumpang. Namun, jika tarif turun 15 persen namun terjadi peningkatan penumpang dengan persentase yang sama, penutupan dan pengurangan frekuensi kemungkinan besar tidak dilakukan.