EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Soelaeman Soemawinata mengatakan anggotanya siap untuk memberikan dukungan dalam pembangunan ibu kota baru yang tengah dirancang pemerintah. Selama ini REI telah berpengalaman dalam mengembangkan kota-kota baru. Setidaknya terdapat 34 kota baru di kawasan Jabodetabek dengan luas rata-rata 60 hektare.
"Semuanya berhasil rata-rata menjadi kota baru mandiri serta menciptakan sentra-sentra ekonomi sehingga terjadi pemerataan ekonomi di masyarakat," kata Soelaeman di Jakarta, Kamis (23/5).
Salah satu yang berhasil adalah pengembangan kota baru seperti BSD, Bintaro dan Lippo Karawaci. Rata-rata luas wilayahnya 60 ribu hektare dengan lama pengembangan 20-30 tahun.
Menurut Eman, pengembangan kawasan baru sebaiknya memang banyak melibatkan swasta dan ahli-ahli di bidangnya. Sinergi dan koordinasi dibutuhkan mengingat pengembangan kawasan butuh waktu yang panjang.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengestimasi pembangunan ibukota baru akan membutuhkan anggaran sekitar Rp 466 triliun. Namun dari kebutuhan tersebut, dana yang disiapkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sekitar Rp 30,6 triliun, dan itu pun bersifat multiyears. Sementara sisanya pemerintah akan menggandeng BUMN serta mengandalkan keterlibatan swasta antara lain melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Menurut Eman, swasta khususnya pengembang tidak masalah bila diminta mendanai pembangunan fasilitas hunian dan komersial di ibukota baru. Setidaknya, ungkap dia, akan ada captive market sebanyak 1,5 juta orang di ibu kota baru tersebut yang dari sisi properti pasti membutuhkan rumah, kawasan komersil, hotel, ruang pertemuan, pusat perbelanjaan, sarana hiburan dan rekreasi, serta fasilitas kota lainnya.
"Saya yakin pengembang tentu tertarik melihat captive marketnya yang besar," ujar pengembang yang juga seorang perencana kota (planner) tersebut.
Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Asia Pasifik itu menjamin swasta terutama pengembang anggota REI mampu membiayai sendiri pembangunan ibu kota baru yang menurut rencana bakal dibangun di Kalimantan Tengah. "Investasi swasta tidak perlu dari dana pemerintah. Kami bisa pakai equity dan dana bank. Sedangkan untuk pengembangan beberapa proyek skala besar kami bisa bentuk konsorsium. Pembiayaan enggak ada masalah, karena captive marketnya sudah jelas," papar Eman.
Butuh Kepastian
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah dalam pengembangan kota baru. Pertama, aspek geografis dimana mencakup perhitungan potensi bencana, tanah gambut atau bukan, dan ketersediaan infrastruktur awal seperti listrik, air, serta akses jalan.
"Lebih baik bila lokasi ibukota baru nanti tidak jauh dari pelabuhan, sehingga biaya logistik untuk pengembang tidak terlalu mahal," ujar Eman.
Kedua, untuk menciptakan kota baru dibutuhkan regulasi atau payung hukum yang kuat, sehingga pengerjaan proyek memiliki kejelasan hukum. Pengelolaan ibu kota baru nantinya juga perlu diatur sebuah otorita yang memiliki kewenangan apakah setingkat Pemerintah Kota (Pemkot) atau dibentuk Badan Pengelola (BP) seperti BP Batam.
Ketiga, terkait dengan investasi, dibutuhkan insentif-insentif bagi swasta yang menjadi pionir dan membiayai sendiri pembangunan kota baru.
Keempat, terkait jaminan keamanan (secure) tanah dan pengendalian tanah. REI berpendapat pemerintah perlu mengendalikan tata ruang dan mengimplementasikan tata ruang tersebut dengan baik.
Dengan begitu, maka swasta lebih mudah melakukan pembangunan tanpa perlu direpotkan dengan negosiasi rumit untuk menggunakan atau mendapatkan tanah. "Pemerintah harus mampu mencegah dan mengontrol harga tanah, sehingga swasta tidak berspekulasi untuk membeli tanah di situ. Ini juga sangat penting bagi pengembang," kata dia.