EKBIS.CO, BANDUNG -- Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jabar menjerit dengan banyaknya produk impor masuk ke Indonesia. Membanjirnya produk TPT impor tersebut, terjadi setelah pemerintah membuat kebijakan yang membuka keran impor bagi pedagang pemegang izin angka pengenal importir umum. Yakni, diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017.
Menurut Pengusaha Tenun Majalaya, Agus Ruslan, aturan ini membuat pedagang pemegang izin angka pengenal importir umum dibolehkan mengimpor kain, benang, dan serat dengan bebas. Akibatnya, produk TPT terutama sarung dan kain tenun yang diproduksi industri kecil dan menangah (IKM) di Jabar terus mengalami penurunan omzet.
"Bahkan dampak dari banjir produk impor ini, tak hanya penurunan omzet saja, ada 3 pabrik sarung di Majalaya yang cukup besar tutup karena bangkrut," ujar Agus yang juga mewakili ratusan IKM Sarung Majalaya kepada wartawan, Jumat (24/5).
Agus mengatakan, pabrik sarung yang besar maupun kecil di Majalaya saat ini harus berusaha keras agar bisa bersaing dengan produk impor tersebut. Kondisi semakin berat selama setahun ke belakang ini.
"Itu tiga pabrik yang gulung tikar produksinya tinggi. Yakni, sampai 20 ribu kodi per bulan sekarang tutup karena produk Cina banyak yang masuk," katanya.
Sebenarnya, kata Agus, importir Cina sejak tiga tahun lalu sudah mencoba masuk ke Indonesia. Bahkan, mereka melakukan uji coba dengan mendatangkan 1 juta sarung. Namun, saat itu mereka tak tau apa yang sebenarnya dibutuhkan pasar di Indonesia jadi produknya tak laku.
"Nah, kalau sekarang produk yang masuk sudah sama mirip dengan kita dan harga lebih murah," katanya.
Agus menjelaskan, produk sarung buatan IKM Majalaya, sangat sulit bersaing dengan produk Cina. Karena, perbandingan harga bahan bakunya di Majalaya sangat mahal. Semua pengusaha, harus membeli bahan baku dengan menggunak dolar. Sehingga, cost produksinya cukup tinggi.
"Kami membeli bahan baku dengan dolar harganya tinggi. Sekarang, dihantam lagi dengan produk impor. Jadi, bukan hanya omzetnya saja yang turun, tahun depan pabrik mana lagi yang akan tutup," paparnya.
Menurut Agus, di Majalaya pengusaha sarung awalnya ada sekitar 350 pabrik termasuk IKM. Namun, sekarang banyak yang tak bertahan.
"IKM nya sekaranh tinggal sekitar 45 pabrik lagi. Itu kan tiga pabrik yang gulung tikar produksinya ada yang 3.500, 5 ribu dan 15 ribu kodi," katanya
Di tempat yang sama, Pengusaha Pertenunan, Deden Sunega pun mengeluhkan banjirnya produk kain impor. Sekarang, penjualan kainnya tak ada peningkatan menjelang lebaran. Padahal, biasanya setiap menjelang lebaran orderannya selalu meningkat.
"Biasanya, kalau 3 tahun ke belakang menjelang lebaran kami panen karena permintaan meningkat. Tapi sekarang, ga ada lonjakan jadi hanya bertahan saja," katanya.
Tak hanya pengusaha kain, pengusaha kaos di Jabar pun ikut menjerit dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tersebut. Menurut Pengusaha Konveksi Kaos, M Dean Irvandi, biasanya menjelang lebaran selalu ada peningkatan permintaan kaos. Namun, tahun ini ia sepi orderan. Bahkan, pelanggannya mulai kabur lebih memilih untuk memesan kaos ke importir.
"Saya kan biasa menjual kaos polos itu Rp 35 ribu per piece nya. Pelanggan saya sudah ga order, karena, dia sekarang ngambil kaos impor yang harganya Rp 18 ribu," katanya.
Menurut Dean, ia akan kesulitan kalau harus bersaing dengan produk impor karena, harga Rp 18 ribu tersebut tak menutup ongkos bahan mauapun produksi. Selain itu, ada banyak karyawannya yang harus digaji.
"Kalau kami kan jelas menyerap tenaga kerja. Kalau produk dari impor kan dibikinnya dimana, disini hanya di jual saja. Saya berharap pemerintah mencabut aturan itu," paparnya.