EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) mengebut pengembangan Kilang Balongan. Kilang yang berada di Kalimantan ini rencananya akan beroperasi pada 2026. Namun, perusahaan akan mempercepat proses pembangunan dan menargetkan pada 2024 kilang ini sudah bisa beroperasi beropearasi.
Direktur Mega Proyek dan Petrokimia Pertamina, Ignatius Tallulembang menjelaskan rencana tersebut tidak lepas dari keinginan serta amanat pemerintah agar Indonesia bisa memproduksi petrokimia dan produk turunannya lebih banyak. "Sekarang kita lagi mau mendorong percepatan balongan supaya bisa minimal 2024 (rampung)," kata Ignatius di Kementerian ESDM, Kamis (13/6).
Untuk bisa mempercepat proses pembangunan, Pertamina dalam waktu dekat akan bertemu dengan China Petroleum Corporation (CPC) Taiwan selaku partner dalam pembangunan Kilang Bontang ini. Ia menjelaskan dalam pertemuan tersebut harapannya kedua belah pihak bisa langsung memutuskan persoalan teknis.
Teknis tersebut, kata Ignatius, berupa langsung memfinalkan lahan, lokasi, dan beberapa upaya lainnya untuk percepatan pembangunan, serta mengenai skema bisnisnya, termasuk pembentukan perusahaan patungan (Joint Venture/JV). Pembentukan JV sendiri menjadi sangat krusial dalam strategi percepatan ini karena dengan adanya JV maka Pertamina bisa segera melakukan pre marketing yaitu mulai memasarkan produk petrokimia ke pasar dunia maupun ke domestik yang dihasilkan di fasilitas baru nanti.
"Target kita akhir tahun ini sudah ada JV. perusahaan patungannya terbentuk supaya sudah bisnis dulu, marketing produk, kita bisa trading, produk mereka bisa kita pasarkan dulu, nah kita bangun percepat. mudah-mudahan 2024 akhir sudah bisa produksi. Jadi kita belajar kapabilitas bagaimana memasarkan. sudah establish perusahaannya tapi paralel kita bangun," ujar Ignatius.
Pertamina tidak akan menguasai fasilitas petrokimia Balongan secara mayoritas. Selain CPC Taiwan yang akan berperan aktif nantinya, Pertamina juga membuka peluang adanya partner ketiga. "Sekarang porsi 50:50 atau mungkin 45:45 ada minor partner lain. tapi range-nya imbang lah. Kalau refinery kita cenderung agak bawah aja," ujar Ignatius.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bisnis petrokimia memang memiliki strategi pemasaranyang berbeda dengan industri migas pada umumnya. Karena itu pengalaman dari mitra sangat penting.
Partner ketiga nantinya akan memiliki pengalaman mumpuni dari sisi penyerapan hasil pengolahan petrokimia. "Di petrokimia ada produk khusus. dan itu pemain-pemain khusus aja yang punya. ada dari jepang misalnya, dari Taiwan. produk khusus misal untuk dashbord atau pesawat. dan itu tidak banyak yang menguasai, itu yang harus kita gandeng juga untuk yang downstream-nya nanti," jelas Ignatius.