EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menjelaskan, guna mendorong investasi, pemerintah perlu memprioritaskan permasalahan mendasar terlebih dahulu. Sebab, isu ini yang kerap menjadi kendala awal hingga menghambat pertumbuhan investasi.
Andry mengatakan, salah satu hal yang patut dilakukan pemerintah adalah evaluasi mendalam mengenai investasi paket kebijakan ekonomi saat ini. Sebab, belum ada dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, termasuk dari sisi investasi. "Sejauh ini, belum terlihat efektivitasnya," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (14/6).
Selain itu, Andry menambahkan, masih belum ada perbaikan institusional yang terintegrasi antara pusat dengan daerah. Permasalahan perizinan seperti kemudahan mengakses Online Single Submission (OSS) yang dirilis pemerintah belum selesai. Padahal, perizinan menjadi kunci awal dan utama untuk menarik para calon investor.
Apabila hal mendasar tersebut sudah diperbaiki, Andry menjelaskan, baru pemerintah melakukan spesifikasi terhadap insentif yang dibutuhkan tiap sektor, termasuk manufaktur. Jadi, insentif yang diberikan tidak pukul rata. "Sebab, kebutuhan insentif di industri makanan dan minuman, pasti berbeda dengan di tekstil," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, setidaknya dibutuhkan investasi Rp 5.802,6 triliun hingga Rp 5.823,2 triliun untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,3 sampai 5,6 persen pada 2020. Sekitar 72 persen di antaranya atau sekitar Rp 4.205 triliun hingga Rp 4.221,3 triliun berasal dari swasta/ masyarakat.
Atas target tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menyebutkan, keterlibatan swasta dalam investasi sudah terbilang aktif, khususnya di bidang infrastruktur yang memang menjadi prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama lima tahun terakhir.
Keterlibatan tersebut terjalin melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) atau public private partnership (PPP). Menurut Shinta, sebanyak 36,5 persen dari kebutuhan Rp 4,796 triliun didapat dari pihak swasta. "Sementara itu, 22,2 persen dari BUMN," katanya.
Untuk ke depannya, Shinta mengatakan, partisipasi swasta ini diharapkan akan meningkat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang stabil. Beberapa faktor untuk mendorong partisipasi lebih besar dari pihak swasta adalah kemudahan regulasi dan berbagai alternatif pembiayaan serta sinergi peraturan pemerintah dari tingkat pusat sampai ke daerah.
Selain itu, upah dan produktivitas tenaga kerja yang kompetitif juga harus terus menjadi perhatian. Di sisi lain, pemerintah patut memperbaiki sistem pelayanan teintegasi seperti OSS guna meningkatkan kepercayaan dan kepastian hukum. "Terakhir, memberikan insentif perpajakan seperti tax holiday maupun tax allowance," ujar Shinta.