Senin 17 Jun 2019 15:08 WIB

Ini Empat Masalah di Industri Penerbangan Domestik

Sejak 2010, hampir tidak ada penambahan kompetitor di industri penerbangan domestik.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas penumpang di Bandara Wiriadinata Tasikmalaya, Senin (3/6).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Aktivitas penumpang di Bandara Wiriadinata Tasikmalaya, Senin (3/6).

EKBIS.CO,  JAKARTA  -- Ekonom dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, terdapat empat masalah besar pengelolaan industri penerbangan domestik saat ini. Permasalahan tersebut dinilai tidak dapat diselesaikan dengan membuka perizinan bagi maskapai asing untuk mengudara di penerbangan dalam negeri.

Permasalahan pertama yang harus diselesaikan pemerintah adalah inefisiensi penerbangan nasional. Inefisiensi bisa dilihat dari harga yang tidak turun meskipun sebagian besar maskapai domestik di Asia Tenggara menurunkan harganya. 

Baca Juga

"Hanya maskapai asal Indonesia yang menaikkan di tengah-tengah penurunan harga di penerbangan domestik di Asia Tenggara," tutur Huda dalam diskusi online bertema 'Mimpi Tiket Penerbangan Murah: Perlukah Maskapai Asing Menjadi Solusi?', Ahad (16/6).

Dalam data yang disampaikan Huda, terlihat bahwa Air Asia Filipina menurunkan harga tiket pesawat domestik dari 0,2 dolar AS per kilometer (km) pada 2018 menjadi 0,05 dolar AS per km. Air Asia Malaysia juga menurunkan harga dari 0,13 dolar AS per km menjadi 0,07 dolar per KM. Sedangkan, Air Asia Indonesia menaikkan harga dari 0,09 dolar AS per km menjadi 0,1 dolar AS per km, sementara Garuda Indonesia dari 0,1 dolar AS per km menjadi 0,13 dolar AS per km.

Huda menyebutkan, salah satu faktor penyebab yang sering disampaikan adalah tingkat Load Factor atau Tingkat Keterisian yang belum mencapai Breakeven Load Factor (BLF). Padahal, tingkat keterisian rata-rata maskapai di Indonesia, yaitu 78 persen, sudah melebihi rata-rata BLF maskapai di Asia Pasifik yang berkisar 67-69 persen.

Artinya, Huda menambahkan, sudah sewajarnya apabila industri mendapatkan keuntungan. "Namun yang terjadi adalah kenaikan harga dengan alasan masih merugi," katanya.

Harga avtur juga kerap menjadi kambing hitam oleh Indonesia National Air Carriers Association (INACA). Namun, Huda menjelaskan, sejatinya harga avtur di Indonesia lebih murah dibandingkan di Singapura dan Malaysia. Bahkan, berdasarkan data Kementerian BUMN, harga avtur di Indonesia dikatakan sudah turun sebesar 16 persen sejak November 2018 hingga Januari 2019.

Permasalahan kedua, hampir tidak ada penambahan kompetitor di industri penerbangan domestik sejak 2010. Akibatnya, tingkat konsentrasi hanya terfokus pada dua group penerbangan besar domestik yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group.

Huda menilai, kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar nasional. Terlebih, pada tahun kemarin ada pengambilalihan Sriwijaya Group oleh Garuda Indonesia yang menyebabkan tingkat konsentrasi dua perusahaan besar menjadi 96 persen.

Monopoli power perusahaan penerbangan meningkat pada low season di tahun 2019. Dulu, saat low season, harga ditentukan oleh proses permintaan dan penawaran di pasar. Namun, saat ini, perusahaan bebas menentukan harga. "Masyarakat jadi tidak mempunyai daya tawar dan pilihan lainnya," ujar Huda.

Ukuran monopoli power yang dilihat dari Lerner Index (LI) meningkat di low season antara tahun 2018 dan 2019. Pada 2018, nilai LI adalah 0,28 yang tumbuh lebih dari dua kali lipat di tahun ini menjadi 0,58. Artinya, kekuatan monopoli perusahaan penerbangan semakin kuat.

Masalah ketiga, peningkatan Tarif Batas Bawah (TBB). Alih-alih menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) pada awal isu harga ini muncul, pemerintah justru menaikkan TBB penerbangan domestik dari 30 persen dari batas atas menjadi 35 persen dari batas atas.

Huda menjelaskan, kenaikan ini beralasan untuk melindungi perusahaan. Tapi, alasan tersebut sangat klise mengingat tidak adanya perusahaan yang membutuhkan perlindungan. "Justru perusahaan maverick (penggangu bagi kartel) yaitu Air Asia dihilangkan dari travel online agent (TOA) yang diduga ada desakan dari pelaku kartel," ujarnya.

Masalah Keempat adalah pembiaran pengambilalihan maskapai. Pengambilalihan Sriwijaya Group dinilai Huda telah menghilangkan kompetitor yang bisa menjadi pengganggu dan pesaing utama Garuda Indonesia dan Lion Air Group. Penggabungan ini berpotensi meningkatkan kolusi dan koordinasi, sehingga meninggalkan Air Asia sendiri yang bersaing dengan dua maskapai besar di Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement