EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, tekanan dari isu global masih terasa meskipun lebih mereda dibandingkan Januari hingga April lalu. Indikasi ini paling terlihat dari munculnya spekulasi kemungkinan penurunan Fed Fund Rate (FFR).
Sri menilai, kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Fed beberapa waktu lalu tampak sangat hawkish, yakni condong untuk menaikkan suku bunga atau melakukan kebijakan moneter ketat. Tapi, kini tone-nya justru dovish.
"Bahkan, sudah menunjukkan kemungkinan melakukan revisi ke bawah," tuturnya dalam konferensi pers mengenai kinerja APBN di kantornya, Jakarta, Jumat (21/6).
Pada bulan ini, Sri menjelaskan, sebagian besar pelaku pasar melihat kemungkinan penurunan suku bunga The Fed guna mendorong ekonomi Amerika Serikat (AS). Hal ini berdampak pada peningkatan aliran modal ke pasar negara berkembang dan mendorong penguatan nilai tukar di pasar berkembang, termasuk Indonesia.
Perubahan perkiraan pelaku pasar terhadap kenaikan FFR di tahun ini setidaknya sudah terjadi tiga kali. Pada Oktober 2018, pelaku pasar memperkirakan ada kenaikan FFR tiga kali sepanjang 2019. Prediksi tersebut berubah pada awal tahun ini, di mana diprediksi akan ada dua kali kenaikan FFR.
Pada Maret, prediksi tersebut kembali berubah yang mengarah ke kondisi lebih soft. Yakni, FFR hanya akan naik sekali. "Mereka menyampaikan, The Fed akan sabar atau patient untuk menghadapi perekonomian (AS)," ujar Sri.
Potensi tersebut berdampak pada banyak sekali, terutama sentimen terhadap negara berkembang. Hal ini terlihat dari berbagai indikator internasional seperti UST 10 years, DXY Index dan MSCI World Index yang menunjukkan tren positif. Volatilitas tahun ini juga menurun dibandingkan 2018, terlihat dari VIX Indec dan MOVE Index.
Kondisi tersebut dinilai Sri sebagai proyeksi bahwa tekanan global akan sedikit mereda dari segi ekonomi makro. Hal ini mendorong kecenderungan investor untuk berinvestasi di luar pasar AS guna mendapatkan yield yang lebih tinggi.
Tapi, Sri menambahkan, tekanan justru terlihat dari sisi perdagangan. Presiden AS Donald Trump memberi sinyal eskalasi sejak Mei. "Jadi, ada percampuran. Di satu sisi volatilitas mereda dari The Fed, tapi trade war justru meningkat Mei sampai Juni," katanya.
Sri menambahkan, arah kebijakan diperkirakan dapat semakin jelas pada pertemuan G20 pekan depan, di mana Trump akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Pertemuan tersebut diharapkan mampu mencapai suatu kesepakatan yang dapat memberi kepastian pada perdagangan dunia.