EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, Indonesia masih belum dipersepsikan sebagai negara yang mengedepankan pengembangan berkelanjutan, termasuk dengan memprioritaskan lingkungan. Persepsi ini menyebabkan green bond atau efek bersifat utang berwawasan lingkungan Indonesia belum sepenuhnya 'green' seperti yang dikeluhkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Piter menjelaskan, saat ini, green bond masih dibeli oleh investor umum. Tidak terkecuali, mereka yang berorientasi kepada besarnya return, bukan kepada pengembangan berkelanjutan yang seharusnya menjadi tujuan utama penerbitan green bond. "Kondisi ini yang dinilai Ibu Sri sebagai green bond Indonesia yang belum benar-benar ‘green’," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (26/6).
Namun, Piter menilai, dari sisi tujuan pembiayaan, tidak menjadi masalah siapa yang akan membeli green bond. Ini hanya masalah persepsi. Apabila green bond banyak dibeli investor green, maka dapat diindikasikan bahwa sadar lingkungan di Indonesia sudah diakui secara internasional. Indonesia tidak akan lagi menghadapi banyak masalah di dunia internasional, misalnya gugatan terhadap sawit yang dikaitkan dengan isu lingkungan.
Piter menjelaskan, pemerintah juga tidak perlu pusing untuk meningkatkan pembelian green bond. Sebab, animo pembelinya cukup tinggi. "Sebagaimana surat utang Indonesia lainnya yang selalu diminati investor," ucapnya.
Dengan potensi ekonomi yang dimiliki dan posisi rasio utang yang masih rendah, Indonesia akan selalu memiliki peluang untuk menerbitkan surat utang dalam berbagai tipe atau peruntukan. Tidak terkecuali green bond atau instrumen utang yang dana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai sebagian ataupun seluruh kegiatan usaha yang berwasasan lingkungan.
Pembiayaan tersebut misalnya untuk sektor energi terbarukan, konservasi, pengendalian polusi. Lalu, Piter menambahkan, transportasi berbasis ramah lingkungan dan aktivitas lainnya yang berwawasan hijau. Penerbitan green bond ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK 04 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan.
Sebelumnya, Sri menyebutkan, green bond atau efek bersifat utang berwawasan lingkungan yang diterbitkan Indonesia sejak dua tahun belakangan belum benar-benar 'green'. Hal ini terlihat dari portofolio pembelinya, di mana hanya 21 persen green bond yang dibeli green investor. Sedangkan, sisanya dibeli oleh investor reguler.