Dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut di atas, dan untuk memenuhi kondisi ketenagalistrikan nasional, pihak swasta juga terlibat didalamnya, seperti dalam pengembangan EBT oleh pihak swasta 8.808 MW (66,6 %) dari total kapasitas 13.232 MW yang akan dikembangkan.
Dengan diterapkannya teknologi efisiensi tinggi dan rendah emisi pada pembangkit listrik tersebut, maka konsumsi bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik akan berkurang, sehingga berdampak mengurangi efek gas rumah kaca, emisi gas buang, dan pencemaran lingkungan hidup. Di samping itu secara ekonomis, maka penurunan penggunaan bahan bakar fosil akan menghemat APBN.
Selain penerapan teknologi efisiensi tinggi dan rendah emisi, pihak swasta juga menerapkan berbagai kegiatan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, contohnya menerapkan kebijakan konservasi energi dan manajemen energi di gedung pembangkit listrik. Dalam rangka mengurangi PS (pemakaian sendiri) energi listrik, maka pembangkit listrik menggunakan sumber EBT seperti PLTS sebagai sumber energi listrik.
Dalam rangka menurunkan emisi non GRK dari kegiatan pembangkit listrik khususnya batubara, pembangkit listrik yang dimiliki oleh pihak swasta juga telah memasang teknologi pengendalian pencemaran udara (PPU), seperti beberapa unit pembangkit telah memasang Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk menurunkan kandungan sulfur pada gas buang, dan hampir semua PLTU telah dilengkapi Low NOx Burner.
Indonesia sebagai salah satu Negara pendiri ASEAN, juga aktif dalam kerjasama energi ASEAN. Melalui forum Renewable Energy Sub-Sector Network (RE-SSN) dan dipandu dokumen ASEAN Plan of Action on Energy Cooperation (APAEC) 2016-2025, Fase I (2016-2020), juga dalam pertemuan ASEAN Minister Meeting on Energy (AMEM) telah dilaporkan capaian target RE Indonesia tersebut hingga mid-term review tahun 2018 adalah sebesar 12,4%.