EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 98 Tahun 2019 khusus mengatur sanski bagi eksportir nakal. Diterbitkannya regulasi itu diyakini bakal membuat pengawasan terhada lalu lintas barang yang diekspor menjadi lebih ketat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengidentifikasi arus barang. Identifikasi itu dilakukan melalui sistem perbankan yang terhubung langsung dengan Bank Indonesia.
"Dalam konteks inilah kita bisa mengidentifikasi nama perusahaan, jumlah barang yang diekspor sekaligus berapa jumlah devisa yang mereka peroleh," kata Sri kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/7).
Ia menjelaskan, PMK Nomor 98 Tahun 2019 itu merupakan kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 dengan Devisa Hasil Ekspor. Aturan khusus mengenai sanksi sebagai bentuk ketegasan pemerintah terhadap para eksporti yang secara diam-diam tidak melaporkan devisa hasil ekspor yang diperoleh.
Eksportir, lanjut dia, harus melakukan repatriasi devisa ke dalam negeri sesuai peraturan yang sudah diberlakukan. "Dari sisi sanksi tentu Bea Cukai yang akan melakukan, apakah berupa denda atau penundaan ekspor oleh eksportir," ujarnya.
Sebagai informasi, devisa hasil ekspor yang wajib dilaporkan yakni ekspor sumber daya alam dari sektor pertambangan, perkebubunan, kehutanan, dan perikanan. Pelaporan disampaikan kepada bank yang melakukan kegiatan usaha valuta asing (valas).
Bagi eksportir yang tidak melakukan pelaporan penempatan devisa ke dalam rekening khusus di bank yang bersangkutan akan dikenakan denda sebesar 0,5 persen dari nilai DHE SDA yang belum dilaporkan tersebut.
Selain itu, sanksi juga tetap dapat diberikan kepada eksportir yang sudah melaporkan devisa, tapi menggunakannya untuk keperluan yang tidak diperbolehkan dalam aturan. Sanksinya berupa denda sebesar 0,25 persen dari nilai devisa hasil ekspor yang telah dilaporkan.