Selasa 09 Jul 2019 18:00 WIB

Indef: Tiga Kendala Penerapan Super Deduction Tax

Catatan pajak industri harus bersih sebelum memperoleh super deduction tax.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi lahan industri.
Foto: Antara
Ilustrasi lahan industri.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Pemerintah telah menerbitkan regulasi baru mengenai pemberian insentif super deduction tax. Insentif ini diberikan untuk industri yang berinvestasi dalam pendidikan vokasi dan kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang).

Pemberian insentif ini ditetapkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemberian insentif bagi industri yang menggunakan basis bahan baku sumber daya alam yang berasal dari dalam negeri tentu akan menarik. 

Baca Juga

Namun apabila menggunakan baku impor dari luar (sebagai bahan bau penolong) maka industri kurang tertarik. Misalnya, industri farmasi yang cenderung melakukan penelitian dan pengembangan di luar negeri, mengingat kemungkinan biaya investasinya jauh lebih murah.

“Dukungan riset dan inovasi yang rendah mengingat sebagian besar anggaran research and development (penelitian dan pengembangan) berasal dari pemerintah dan bukan swasta.  Sementara negera lain umumnya dari swasta,” ujar Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (9/7).

Tauhid menjelaskan berdasarkan Bank Dunia tercatat anggaran penelitian dan pengembangan di Indonesia hanya 0,08 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),  India 0,62  persen, China 2,11  persen, Malaysia 1,30  persen, Thailand 0,78  persen dan Vietnam 0,44  persen. 

“Jadi kita jauh ketinggalan dari negara lain karena itu saya kira ini langkah baik dari pemerintah dengan memberikan super deduction tax, diharapkan dapat meningkatkan kualitas anggaran swasta untuk melakukan riset untuk menghasilkan inovasi dan pengembangan pendidikan vokasi,” jelasnya.

Meski demikian, kebijakan ini belum akan efektif dalam waktu dekat karena beberapa hal yang saat ini menjadi kendala. Pertama, berkaitan dengan mekanisme klaim dari industri yang bisa menjadi pengurang pajaknya itu tidak mudah, baik dari sisi kegiatan atau nilainya yang membutuhkan otoritas lintas kementrian atau lembaga, standarisasi hingga akuntabilitas nilai pajaknya. 

“Misalnya terkait jenis vokasi apa yang diakui oleh Kementrian Perindustrian, jika memang vokasinya bidang industri serta standar vokasinya,” ucapnya.  

Kedua, dari sisi industri juga harus dipastikan clean dan clear catatan pajaknya. Sehingga, jika ada masalah di masa lalu maka akan sulit mengajukan super deduction tax

“Misalnya jika ada persoalan dipengadilan pajak maka harus diselesaikan dulu sebelum mengajukan super deduction tax.  Ini justru akan dihindari oleh pengusaha mengingat akan diperiksa kinerja pajaknya,” ucapnya. 

Ketiga,  kebanyakan  sektor swasta menggunakan jasa penelitian dan pengembangan dari negara lain (impor) yang sudah teruji di lapangan, sehingga apabila melakukan penelitian dan pengembangan di dalam negeri akan lebih mahal.  

“Misalnya pada industri obat (farmasi) yang penelitian dan pengembangan banyak dilakukan lembaga farmasi internasional ketimbang dalam negeri,” jelasnya.

Ke depan, pihaknya melihat dalam jangka menengah dan panjang akan ada pengaruhnya terhadap daya saing industri dan Sumber Daya Manusia (SDM) global. Namun, nantinya pendekatannya bukan hanya super deduction tax tetapi anggaran penelitian dan pengembangan serta inovasi yang tepat.  

“Hal ini penting mengingat anggaran penelitian dan pengembangan dan Inovasi dari Kementrian Perindustrian saja kecil sekali dibandingkan total anggaran yang ada. Jadi seharusnya ini yang menjadi prioritas,” ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement