EKBIS.CO, JAKARTA -- Persoalan ekonomi bangsa tak lepas dari struktur pelaku ekonomi, di mana menurutnya Indonesia belum memaksimalkan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Padahal, struktur pelaku Indonesia saat ini mayoritas ialah UMKM sebesar 99,99 persen dengan menyumbang 97 persen serapan tenaga kerja
Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta mengatakan persoalan ekonomi Indonesia dihadapkan pada sejumlah persoalan, mulai dari tren pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang cenderung stagnan pada angka lima persen sejak 2014, defisit neraca pembayaran sebesar 7,1 miliar dolar AS pada 2018, defisit neraca perdagangan sebesar 2,5 miliar dolar AS pada April 2019 atau defisit terdalam sejak Juli 2013 yang sebesar 2,3 miliar dolar AS, tingkat ketimpangan dan jumlah pengangguran terbuka yang masih cukup tinggi. "Dengan struktur seperti ini, sejak 2014 Indonesia terjebak dalam pertumbuhan lima persen," ujar Arif saat presentasi hasil riset mengenai UMKM bertajuk "UMKM: Potensi yang Terabaikan Menuju Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen" di Megawati Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/7).
Arif menilai persoalan ekonomi bangsa tak lepas dari struktur pelaku ekonomi yang belum memaksimalkan sektor UMKM. Padahal, struktur pelaku Indonesia saat ini mayoritas ialah UMKM sebesar 99,99 persen dengan menyumbang 97 persen serapan tenaga kerja, 60 persen kontribusi untuk PDB, namun hanya mendapatkan 20 persen distribusi pembiayaan perbankan.
Sementara, pelaku usaha berskala besar hanya diisi sekira 0,01 persen dengan hanya menyerap tiga persen tenaga kerja, dan sumbangan kontribusi terhadap PDB sebesar 40 persen. Angka ini jauh berbanding dengan distribusi pembiayaan perbankan yang diberikan hingga 80 persen.
"Kita tidak pernah memikirkan secara serius sektor UMKM yang secara kontribusi, serapan bagi lapangan kerja sangat besar, tapi kalau dari komposisi pembiayaan perbankan cuma 20 persen," kata Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) tersebut.
Arif berharap pemerintah menghadirkan pendekatan melalui sektor UMKM dalam memperbaiki kondisi perekonomian melalui pemerataan porsi perhatian. Beragam upaya yang dilakukan bisa melalui peningkatan peran UMKM yang beroperasi dengan usaha besar, pemberian insentif fiskal, distribusi akses kredit usaha rakyat (KUR), melibatkan UMKM dalam aktivitas investasi dan ekspor, melarang masuknya perusahan besar untuk sektor usaha yang layak digarap UMKM, memperbesar kewajiban kredit perbankan untuk UMKM, serta membuat undang-undang promosi subkontrak untuk mencegah praktik penyimpangan yang dilakukan perusahan besar seperti menunda atau mengurangi pembayaran atas kerja sama yang dilakukan dengan UMKM.
Arif meminta keberpihakan yang nyata dari pemerintah untuk melindungi sektor UMKM. Keberpihakan itu seperti membuat undang-undang promosi subkontrak untuk mencegah praktik penyimpangan yang dilakukan perusahan besar seperti menunda atau mengurangi pembayaran atas kerja sama yang dilakukan dengan UMKM.
"Contoh ada UMKM yang suplai pasar modern, tapi pembayarannya lama, padahal UMKM aktivitasnya harian, tanpa azas kekeluargaan dan perlindungan, yang terjadi adalah penghisapan," ucap Arif.
Arif juga meminta pemerintah lebih aktif mendorong perbankan berpartisipasi membantu sektor UMKM. Pun dengan perbankan asing yang seharusnya diarahkan membantu permodalan UMKM, bukan pada pelaku usaha besar. Hal ini, kata Arif, dilakukan pemerintah Cina agar sektor UMKM bisa mengalami peningkatan.
Pengajar dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjajaran (Unpad) Aldrin Herwany, mengatakan polemik mendahulukan pertumbuhan dan pemerataan memang kerap menjadi perdebatan pada ranah akademisi. Menurut Aldrin, apa yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada lima tahun terakhir merupakan upaya untuk mendahulukan pemerataan. Berbeda dengan pertumbuhan, dampak peningkatan pemerataan tidak dapat dirasakan saat ini, melainkan masa yang akan datang.
Aldrin senada dengan Arif terkait pentingnya mendorong sektor UMKM dalam upaya pemerataan yang dilakukan pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah perlu melakukan perlindungan dan dukungan yang lebih maksimal.
"Kalau perusahan besar, tidak diapa-apain (dibantu pembiayaan) juga tetap hidup, beda dengan UMKM," kata Aldrin.
Aldrin berharap pemerintah ke depan bisa memberikan berbagai insentif pembiayaan yang lebih maksimal terhadap UMKM ketimbang para pelaku usaha besar. "Perusahaan besar bisa kredit lalu bayarnya enam bulan kemudian, seharusnya ke mudah seperti ini juga bisa didapat (usaha) yang kecil-kecil (UMKM)," ucap Aldrin.