EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, skema penarikan pajak digital yang paling sesuai dengan ekosistem bisnis di Indonesia adalah melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab, pemerintah atau pihak yang akan melakukan penarikan pajak cukup mengecek jumlah transaksinya.
Selain itu, Bhima menambahkan, pihak pemangku kepentingan juga dapat menarik pajak digital melalui Pajak Penghasilan (PPh) badan. Jenis pajak ini cenderung lebih mudah dipungut.
"Kedua jenis pajak itu patut menjadi prioritas," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (17/7).
Secara umum, Bhima menilai, upaya pemungutan pajak digital yang diinisiasi pemerintah Indonesia bersama dengan negara lain melalui organisasi internasional sudah tepat. Hanya saja, pemerintah harus memperhatikan prinsip keadilan.
Sebab, yang selama ini ingin disasar adalah sektor digital dalam platform resmi. Misalnya, di niaga elektronik (e-commerce), aturan pajak yang sebelumnya ditarik dirasa kurang adil ke platform seperti Tokopedia, Lazada, Bukalapak dan sebagainya.
Sedangkan, penjual online di media sosial lolos dari pengamatan pajak. Padahal, Bhima mengatakan, tingkat transaksi di media sosial seperti Instagram memiliki porsi lebih besar dibandingkan platform e-commerce resmi. "Jadi kalau mau dipungut pajak ya yang platform juga yang di media sosial," katanya.
Untuk langkah awal, Bhima menganjurkan, sebaiknya pemerintah lakukan pendataan wajib pajak di e-commerce. Setelah ada data tersebut, baru pemerintah dapat melakukan penegakan aturan pajak. Tanpa data, pemerintah akan sulit menjaga tingkat kepatuhan pajaknya.
Bhima menambahkan, baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) sedang melakukan pendataan potensi ekonomi digital yang sudah ditunggu berbagai pihak. “Nah itu harusnya DJP (Direktorat Jenderal Pajak) bisa kerja sama dgn BPS untuk melihat potensi pajaknya secara holistik,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, meningkatkan penerimaan melalui ekonomi digital masih menjadi tantangan bagi sejumlah negara. Tidak hanya Indonesia, juga negara maju. Oleh karena itu, topik ini turut dibicarakan dalam forum sidang tahunan G20 di Jepang beberapa waktu lalu.
Sri mengakui, tantangan yang ada turut berdampak pada realisasi penerimaan perpajakan. Saat ini, ia menilai, realisasi yang ada masih rendah dan belum mencerminkan potensi sesungguhnya. "Termasuk potensi penggunaan internet e-commerce dan jumlah penduduk Indonesia," ujarnya dalam peringatan Hari Pajak 2019 di kantor DJP, Jakarta, Senin (15/7).
Salah satu tantangan yang dimaksud Sri adalah skema pungutan pajak. Di era ekonomi digital, para pelaku usaha tidak perlu berada di suatu negara untuk dapat memperoleh penghasilan. Artinya, kehadiran fisik atau physical presence tidak dapat dijadikan sebagai dasar perhitungan dan penarikan pajak lagi, terutama untuk perusahaan digital.