EKBIS.CO, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) merilis, dari 4.258 hotspot atau titik panas secara nasional dari data Januari-Juli 2019, 2.087 hotspot berada di kawasan hidrologi gambut (KHG) dan areal konsesi atau perusahaan. Tercatat, terdapat 613 perusahaan yang berada di areal KHG.
Koordinator Data Base dan Administrasi Walhi Riau, Fandy Rahman mengatakan, sepanjang Juli 2019 saja terdapat sekitar 27.683 hektare lahan terbakar yang didominasi kawasan gambut. Menurut dia, permasalahan karhutla di Riau bermula dari adanya pemberian konsesi ke beberapa pihak.
Sedangkan harusnya untuk melestarikan lingkungan sambil menggali potensi ekonomi yang tak beresiko, hal itu perlu diserahkan ke masyarakat. “Ini praktek masa lalu sampai sekarang masih terulang di Riau,” kata Fandy, di Jakarta, Kamis (1/8).
Berdasarkan catatan Walhi, 613 perusahaan yang beroperasi di KHG memiliki kriteria status perizinan yang berbeda. Antara ain 453 konsesi merupakan Hak Guna Usaha (HGU), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 123 konsesi, dan 37 konsesi merupakan IUPHHK Hutan Alam.
Fandy menjelaskan, dengan adanya kontribusi hotspot di lahan konsesi tersebut, kondisi karhutla di Riau sudah berada dalam tahapan memprihatinkan. Kondisi dampak karhutla di Riau, menurut dia, sudah sangat berbahaya terhadap kondisi kesehatan anak.
Dia menyebut, tanpa pengendalian karhutla yang maksimal maka sampai kapanpun Riau akan terus terpapar asap karhutla. “Beberapa sekolah bahkan sudah wajib menggunakan masker,” kata dia.
Dalam kedaruratan lingkungan hidup yang mengancam bagi kesehatan dan lingkungan itu, Walhi secara nasional menyayangkan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) terkait karhutla justru tidak segera dilaksanakan. Yang ada sebaliknya, presiden justru mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap kasus karhutla terbesar yang pernah terjadi di 2015.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Riko Kurniawan mengatakan, investasi pada masa depan harusnya adalah dengan tidak mengambil tanah rakyat dan merusak lingkungan. Pemerintah, menurut dia, harus mengoreksi kesalahan masa lalu dengan mengembalikan tanah rakyat akibat kebijakan yang tidak pro rakyat dan lingkungan.
“Investasinya harusnya diarahkan ke sana (rakyat),” kata dia.
Sementara itu berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), rekapitulasi hotspot secara nasional pada Januari-Juli 2019 mengalami penurunan sebesar 66,93 persen, yakni 4.189 hotspot. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun lalu sebanyak 732 hotspot atau 54,71 persen.
Sedangkan luasan indikatif karhutla periode Januari-Mei 2019 mencapai 42.740 hektare. Luasan tersebut terdiri dari lahan mineral seluas 15.202 hektare dan lahan gambut seluas 27.538 hektare.
Terkait dengan data luasan hotspot di lahan konsesi, Direktur Pengendalian Karhutla KLHK Raffles Panjaitan mengatakan belum merekapitulasi luasan tersebut. Menurut dia berdasarkan dari hasil laporan sementara, belum ada laporan yang menyatakan mengenai titik hotspot di lahan konsesi.
“Untuk tahun ini belum ada (hotspot) di lahan perusahaan,” kata Raffles.
Pihaknya menjelaskan, rekapitulasi luasan lahan hotspot baru dilakukan pada periode Januari-Mei saja. Sedangkan berdasarkan laporan dari Walhi, kata dia, hal itu mengacu catatan perhitungan pribadinya hingga Juli ini. Raffles menilai, sejauh ini pemerintah sudah berupaya menurunkan luasan hotspot dan karhutla dengan menerapkan sistem patroli terpadu.
Dia juga mengklaim pemerintah mampu mengendalikan karhutla. Sebab berdasarkan hasil laporan di lapangan, kata dia, kasus karhutla semakin mengalami tren penurunan yang cukup signifikan.