EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java (PHE ONWJ) melakukan berbagai upaya dalam penanggulangan tumpahan minyak di perairan utara Karawang, Jawa Barat. Upaya itu termasuk mendatangkan bantuan dari asing.
PHE ONWJ menggunakan perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Boots & Coots, dalam upaya mempercepat pengeboran sumur baru relief well (RW) YYA-1RW, yang berfungsi menutup sumur YYA-1. PHE ONWJ menyebut Boots & Coots sudah berpengalaman dan telah terbukti menghentikan insiden serupa sumur YYA-1, dengan skala jauh lebih besar di Teluk Meksiko.
Incident Commander PHE ONWJ Taufik Adityawarman mengatakan tidak ada peraturan yang dilanggar terkait penggunaan tenaga asing. Taufik memastikan Pertamina mematuhi peraturan yang ada di KKKS dan SKK Migas, termasuk mengenai penggunaan tenaga asing yang berada dalam pengawasan Pertamina. Taufik tidak menampik jika Pertamina memiliki keterbatasan dalam menangani insiden tersebut.
"Sama seperti kalau kita mau memasang anjungan minyak lepas pantai. Yang mungkin saya pernah (ingin) pasang 4.000 ton. Di Indonesia tidak ada (peralatannya) ya ke mana lagi, kita kan tidak munafik, kita harus kerja semua 100 persen, sementara faktanya kita belum mampu," ujar Taufik saat jumpa pers di Kantor Pusat Pertamina di Jakarta Pusat, Kamis (8/8).
Taufik menyebutkan, bantuan tenaga asing merupakan bentuk upaya Pertamina melakukan percepatan penanganan agar dampaknya tidak semakin meluas. "Ini kan emergency, prinsipnya semakin cepat kita selesai dari masalah ini, semakin baik, dampak akan lebih sedikit. Ini bencana bencana di industri migas sehingga semua bahu-membahu beri pertolongan," ucap Taufik.
Taufik menambahkan, tenaga ahli yang didatangkan Pertamina juga bukan sembarangan. Mereka merupakan tenaga asing dengan kapabilitas dan kompetensi yang sudah dibuktikan di industri migas.
"Kita tidak sembarang ambil orang asing (misal) dari Kebon Sirih. Ini ada kualifikasinya," ucap Taufik.
Taufik juga menyampaikan bahwa para tenaga asing tidak perlu mempunyai sertifikasi International Maritime Organization (IMO) yang diterbitkan pemerintah Indonesia.
Sepemahaman Taufik, sertifikasi IMO lebih merujuk pada kapal, kru kapal, perawatan kapal, hingga kapten kapal, dan menjadi pada ranah Direktorat Jenderal Kelautan, Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sementara untuk tenaga ahli, baik lokal maupun asing, kata Taufik, tidak memerlukan sertifikat IMO.
"Ahli ini sebagai penumpang, sama seperti saya. Saya kerja di migas, saya tidak punya IMO. Saya mungkin bisa konstruksi, tapi konstruksi itu butuh kapal, nah kapalnya itu yang harus di (sertifikat) IMO," kata Taufik.
Taufik mengaku sudah menanyakan hal ini kepada kepala inspeksi tambang Migas, Adi, dan mendapat jawaban bahwa tidak ada diperlukan sertifikat IMO dalam penggunaan tenaga asing dalam penanganan dampak tumpahan minyak.