Jumat 09 Aug 2019 16:18 WIB

Stok Garam Menipis, Industri Terancam Berhenti Produksi

Kebutuhan garam impor untuk industri makanan minuman per tahun sebanyak 550 ribu ton.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Suasana bongkar muat garam impor dari Kapal MV Golden Kiku ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (12/8). Sebanyak 27.500 ton garam impor dari Australia tersebut rencananya akan disebar ke sejumlah Industri Kecil Menengah di tiga wilayah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.
Foto: Zabur Karuru/Antara
Suasana bongkar muat garam impor dari Kapal MV Golden Kiku ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (12/8). Sebanyak 27.500 ton garam impor dari Australia tersebut rencananya akan disebar ke sejumlah Industri Kecil Menengah di tiga wilayah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) menanti respons pemerintah terkait menipisnya stok garam impor untuk industri mamin. Menurut Gappmi, sebagian pabrik pengolahan garam mulai berhenti berproduksi dan tidak dapat menyuplai garam ke industri mamin yang membutuhkan.

Ketua Umum Gappmi, Adhi Lukman mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih dalam posisi menunggu keputusan pemerintah. Asosiasi telah menyampaikan kesulitan yang dihadapi akibat menipisnya stok garam.

Baca Juga

"Sejak awal kita sudah tahu (kuota impor garam industri mamin) akan kurang," kata Adhi kepada Republika.co.id, Jumat (9/8).

Kebutuhan garam impor untuk industri mamin per tahun sebanyak 550 ribu ton. Namun, tahun 2019 pemerintah hanya memberikan kuota izin impor garam sebesar 300 ribu ton dari total alokasi impor garam industri 2019 sebanyak 2,7 juta ton.

Adhi menjelaskan, garam impor sebanyak 300 ribu ton itu sudah mulai menipis sejak bulan lalu. Gappmi pada bulan lalu telah meminta kepada pemerintah untuk memberikan tambahan izin impor garam sebanyak 250 ribu ton.

Menurut dia, kebutuhan industri mamin per tahun terhadap garam sangat kecil sehingga mestinya pemerintah tidak membatasi. "Sebagian industri pengolah garam sudah menyatakan berhenti beroperasi dan tidak bisa suplai suplai garam ke industri makanan dan minuman," tegas Adhi.

Pihaknya menjelaskan, industri mamin domestik belum bisa menutupi kekurangan kebutuhan garam dari produksi lokal. Selain harga yang lebih tinggi, spesifikasi dan kualifikasi garam belum memenuhi standar yang disyaratkan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Sebagai gambaran, harga garam impor saat ini berkisar antara Rp 500 - 700 per kilogram. Sementara garam lokal kualitas I yang memiliki kadar Natrium Klorida (NaCl) 97 persen dihargai lebih dari Rp 1.000 per kilogram. Selain soal NaCl, kadar air pada garam lokal masih di atas 0,5 persen, jauh lebih tinggi dibanding kadar air garam impor.

Sebagai informasi, industri makanan dan minuman di dalam negeri saat ini memegang peranan penting terhadap pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran. Mengutip data Badan Pusat Statistik, secara tahunan industri mamin pada kuartal II 2019 tumbuh 7,99 persen atau naik dibanding kuartal I 2019 yang hanya 6,77 persen.

Laju pertumbuhan industri ini diatas pertumbuhan ekonomi 5,05 persen. Kementerian Perindustrian juga menganggap industri mamin sebagai industri pengolahan yang diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement