EKBIS.CO, JAKARTA--Pengamat Ekonomi Politik Pertanian Universitas Trilogi Muhammad Karim tidak sependapat dengan ulasan tentang pangan Indonesia yang menilai Indonesia 'dikutuk' impor pangan seumur hidup. Menurutnya, justru kerja pembangunan pertanian era pemerintahan Jokowi-JK membuahkan hasil positif.
Data BPS menyebutkan volume ekspor pertanian sejak 2014-2018 naik 9 sampai 10 juta ton dan neraca perdagangan pertanian surplus. "Judul yang diangkat itu membuat saya merinding dan terkesima. Mungkin itu yang dikutuk yang dimaksud adalah dia yang pemikiran-pemikirannya dibisikin dan berafiliasi dengan para pehobby impor," demikian jelas Karim di Jakarta, Kamis (22/8).
Alumni IPB ini menekankan bahwa yang perlu digarisbawahi yakni rakyat Indonesia tidak suka impor dan mengutamakan konsumsi dari hasil petani sendiri. Para mafia pangan dan mafia impor sudah diproses hukum.
"Jadi janganlah publik dibawa-bawa ke upaya-upaya untuk impar impor. Indonesia sudah swasembada dan bahkan ekspornya melejit. Silakan cek," ujar Karim.
Untuk kalian ketahui, sambung Karim, bahwa perdagangan dunia semakin terbuka, sehingga tidak mungkin dengan sistem ekonomi tertutup, maka tidak tabu mengadakan ekspor dan impor. Di Negara manapun juga begitu, misalnya tengok saja Negara China dengan penduduk besar, namun tetap melakukan impor pangan juga dalam jumlah besar.
"Kenapa negara-negara impor karena ada kebutuhan dan mereka ekspor untuk meraup devisa. Jadi kebijakan Indonesia era sekarang sudah tepat yakni mengendalikan impor dan mendorong ekspor," terangnya.
Oleh karena itu, Karim meminta agar tidak terbatas mengupas sisi impor beras, jagung dan bawang putih, tapi harus juga mengangkat sisi ekspor dan neraca perdagangan total pertanian. Nilai impor tiga komoditas tersebut pada kenyataanya sudah tertutup dengan ekspor sawit sehingga Indonesia surplus. Buktinya, data BPS menyebutkan Indonesia surplus neraca perdagangan pertanian 2018 sekitar USD 11 miliar.
"Memang benar ada impor beras, jagung dan bawang putih, tapi coba disimak dan cermati trend impor semakin mengecil," tuturnya.
Lebih lanjut Karim menegaskan hasil berbagai program di era Menteri Pertanian (Mentan) Amran sekarang ini gamblang terlihat nyata. Lihat saja, dulu impor jagung 3,5 juta ton pertahun, pada 2016 impor turun drastis dan 2017 tidak ada impor jagung pakan ternak, bahkan selanjutnya 2018 sudah ekspor 340 ribu ton.
"Ini kan lompatan luar biasa. Untuk beras pun juga sama, data Kerangka Sampling Area (KSA, red) BPS menyebutkan Indonesia 2018 surplus beras 3,3 juta ton. Nah itu ada impor kan keputusan Rakortas dimaksudkan untuk berjaga jaga di 2015 karena Elnino terbesar dan 2018 untuk berjaga jaga karena antisipasi stock," bebernya.
"Data yang disajikan itu betul sedikit impor itu kan bukan beras, tapi menir dan sejenisnya untuk industri," imbuhnya.
Terkait bawang putih, Karim justru mengapresiasi era kabinet sekarang, karena sudah 23 tahun terakhir tergantung pada jagung impor. Apalagi di Era sekarang memiliki program yang bagus yakni wajib tanam bagi importir bawang putih dan ditargetkan akan swasembada 2021.
"Tolong lah tengok juga kinerja PDB Pertanian harga konstan dahulu 2014 hanya Rp 880,40 triliun kemudian naik 2018 menjadi Rp 1.005,40 triliun," cetusnya.
Karim menambahkan sektor pertanian juga berhasil menurunkan inflasi kelompok pengeluaran bahan makanan 2014 sebesar 10,57, turun 2018 menjadi 1,69. Kemudian, penduduk miskin di pedesaan menurun dari 14,17 persen pada tahun 2014 menjadi 13,2 persen pada tahun 2018.
Sementara itu, Pengamat Ketahanan Pangan, Prof. Tjipta Lesmana mengungkapkan berdasarkan hasil riset yang dilakukan Bappenas dan dirilis beberapa hari yang lalu terbukti bahwa penerapan teknologi pertanian berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya ekonomi pedesaan.
Studi kasus yang dilakukan Bappenas terkait alokasi anggaran belanja 2016-2017 menunjukkan belanja modal mengalami peningkatan paling tinggi yaitu sebesar Rp 39,1 triliun, belanja barang sebesar Rp 31,8 triliun, sedang belanja pegawai Rp 7,5 triliun.
Belanja barang pada periode tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,08 persen. Sementara belanja modal hanya mendorong 0,03 persen. Anggaran yang sudah dikeluarkan oleh Kementan memiliki peran terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Setiap peningkatan 1 persen belanja alsintan, terjadi peningkatan subsektor pertanian, peternakan dan jasa pertanian di daerah sebesar 0,13 persen.
“Indikator keberhasilan dapat kita lihat pada peningkatan ekspor komoditas pertanian menurut data BPS. Tahun 2018 ekspor komoditas pertanian melonjak tajam menjadi 42,5 juta ton," beber Prof. Tjipta.
Prof. Tjipta pun membeberkan rata-rata kenaikan ekspor pertanian per tahun 2,4 juta ton. Untuk tahun 2019 besar kemungkinan angka ekspor tersebut akan meningkat lagi, karena fokus pada ekspor komoditas pertanian yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Yang tidak kalah hebat, sambungnya, terjadinya penurunan inflasi bahan makanan yang sangat signifikan menjadi 1,26 persen pada tahun 2017 dari sebelumnya 11,71 persen pada tahun 2013.
"Peringkat ketahanan pangan Indonesia, berdasarkan Global Food Security Index juga terus membaik ke peringkat 65 dari 113 negara,” bebernya.
Bahwa Indonesia masih melakukan impor pada beberapa komoditas pertaniannya meski sukses di bidang pertanian, menurut Prof. Tjipta, hal itu wajar-wajar saja. Ekspor dan impor pangan sesungguhnya hal yang biasa dan terjadi pada hampir semua negara, termasuk RRT, salah satu negara raksasa pertanian.
"Yang penting pemerintah kita konsisten menggenjot ekspor, disamping mengendalikan impor komoditas pertanian secara ketat. Jangan sampai Indonesia gampang menyerah pada tekanan para mafia untuk terus mengimpor komoditas pertanian strategis yang kerap terjadi di masa lalu!," tegasnya.
"Disamping menguras devisa negara, praktek semacam ini tentu akan melemahkan ketahanan bangsa kita," tambahnya.