Jumat 23 Aug 2019 07:49 WIB

Indef: Target Penerimaan Pajak Tahun Depan Terlalu Ambisius

Pemerintah membidik perolehan penerimaan pajakn pada tahun depan Rp 1.861,8 triliun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Penerimaan pajak
Foto: Bismo/Republika
Penerimaan pajak

EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, target pertumbuhan penerimaan perpajakan tahun depan yang mencapai 13,31 persen terlalu tinggi. Sebab, outlook tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 8,18 persen atau sesuai dengan pertumbuhan alami perpajakan.

Huda menyebutkan, setidaknya ada lima permasalahan target penerimaan perpajakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Di antaranya, program perpajakan tahunan yang semakin tidak efektif.

Baca Juga

"Ini terlihat dari pertumbuhan penerimaan hingga masa pelaporan SPT (bulan April) melambat," ujarnya dalam diskusi online, Kamis (22/8) sore.

Terakhir, dari program SPT Tahunan, pertumbuhan penerimaan pajak hanya 1,02 persen. Padahal, Huda mencatat, pertumbuhan penerimaan perpajakan pada 2017 pada masa penerimaan SPT mencapai 19,22 persen.

Selain itu, SPT tahunan kali ini hanya menghasilkan 24,53 persen dari target tahun 2019. Angka tersebut turun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 26,91 persen. "Ini menunjukkan, pesta pelaporan pajak tahunan tahun ini kurang berhasil," kata Huda.

Permasalahan kedua adalah rasio sumber daya manusia (SDM) perpajakan terhadap jumlah penduduk yang masih sangat rendah di Indonesia. Rasionya adalah 1:5.293 penduduk. Sedangkan, Huda menyebutkan, negara lain memiliki angka yang lebih rendah.

photo
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2020.

Apabila dihitung berdasarkan jumlah wajib pajak (WP), rasionya juga masih 1:936 WP. Artinya, Huda menuturkan, beban SDM perpajakan masih sangat tinggi.

Meski saat ini sudah mulai muncul berbagai aplikasi online yang melayani jasa perpajakan secara gratis, rasio tersebut tetap harus menjadi sorotan.

Permasalahan ketiga yang disebutkan huda adalah tingkat kepatuhan pajak menurun drastis. Sampai Juni 2019, tingkatnya hanya 67,4 persen atau turun dari angka tahun 2017, 72,6 persen. Padahal, jumlah WP terus bertambah.

"Ini menunjukkan, basis data yang kurang baik dari otoritas perpajakan," tutur Huda.

Kebijakan yang pro pebisnis menjadi permasalahan keempat penerimaan perpajakan 2020. Huda menilai, tax amnesty tidak terbukti menghasilkan dampak yang efektif. Oleh karena itu, wacana jilid kedua perlu dipertanyakan, terlebih usulan ini datang dari pengusaha yang memang mengincar pengampunan pajak lagi.

Terakhir, permasalahan inefisiensi dan tidak efektifnya relaksasi fiskal. Huda menyebutkan, belanja pajak dari 2016 ke 2018 selalu meningkat. Pada 2018, belanja pajak bahkan menyentuh Rp 221,3 triliun.

Tapi, yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di angka lima persen. Sektor industri manufaktur juga menghadapi pertumbuhan yang melambat.

"Artinya, insentif fiskal yang sebegitu besar tidak efektif dan cenderung dinikmati golongan tertentu," ucap Huda.

Melihat berbagai permasalahan itu, Huda menilai, dibutuhkan beberapa terobosan kebijakan perpajakan. Misalnya, pajak warisan. Selain akan menambah penerimaan negara, juga akan mengurangi tingkat ketimpangan, sehingga sangat cocok diterapkan di Indonesia.

Selain itu, Huda menambahkan, pemerintah harus mengkaji ulang pemberian insentif fiskal ke dunia usaha. "Wacana penurunan tarif pajak badan usaha juga patut dikaji lagi," ujarnya.

Dalam RAPBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan pajak tumbuh sebesar 13,3 persen, yakni menjadi Rp 1.861,8 triliun. Sementara itu, proyeksi realisasi pajak APBN 2019 sebesar Rp 1.643,1 triliun.

Dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jumat (16/8) malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan melakukan sejumlah upaya untuk mencapai target. Khususnya, optimalisasi penerimaan dan reformasi di bidang perpajakan yang mendukung ekonomi dan dunia usaha.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement