EKBIS.CO, Sejumlah wilayah di Tanah Air masih mengalami kekeringan karena musim hujan yang tak kunjung datang. Tak terkecuali daerah-daerah yang terdampak bencana gempa bumi besar pada 2018 lalu.
Para petani di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, diketahui masih terkendala ketiadaan air. Mereka kesulitan untuk melanjutkan kegiatan bercocok tanam secara normal.
“Air jadi masalah utama. Susah sekali dapat air. Karena itu, tidak semua lahan pertanian bisa digarap,” kata Lisma selaku ketua kelompok wanita tani (KWT) Mekar Bersama Desa Langaleso, Kabupaten Sigi, saat ditemui Antara, Kamis.
KWT tersebut beranggotakan 22 orang. Tidak hanya perempuan, melainkan juga laki-laki. Lahan garapan mereka, lanjut Lisma, seluas 11 hektare di Desa Langaleso. Menurut dia, pascabencana gempa bumi yang disertai likuefaksi pada tahun lalu, hanya lima hektare lahan dari total 11 hektare yang bisa digarap.
Untuk pengairan, pihaknya hanya mengandalkan suplai dari sumur dangkal. Oleh karena itu, turunnya hujan sangat dinantikan agar kemudian lahan bisa digarap.
Beberapa peralatan tani pun, semisal alkon, masih harus meminjam atau menyewa dari kelompok tani lain. “Jadi agar lahan bisa digarap, maka harus usaha. Usaha itu berupa minjam atau membeli alkon. Selain itu, menunggu hujan,” kata Lisma.
Dia mengakui, kebutuhan yang mendesak saat ini ialah air dan alkon. Untuk bisa mengolah lahan yang seluas 11 hektare, pihaknya tidak mungkin hanya bergantung pada keberadaan sumur-sumur dangkal. Apalagi, di Desa Langaleso tidak banyak sumur dangkal dibuat. Hanya di beberapa titik. Padahal, mayoritas penduduk desa ini berprofesi di sektor pertanian.
Menurut dia, total petani di desa tersebut sebanyak 597 orang. Mereka semua tergabung dalam 11 kelompok tani. Tiga kelompok di antaranya berupa KWT.
Terjadinya krisis air disuarakan pula Kepala Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Siti Darwisadi. Lantaran musim kemarau berkepanjangan, para petani setempat mengalami kesulitan untuk menggarap atau menanami lahan. “Masalah utama petani ialah (krisis) air,” kata dia, Kamis.
Di Kecamatan Dolo terdapat 11 desa. Semuanya diketahui memiliki lahan yang potensial untuk pertanian. Tiga desa di antaranya adalah Desa Solouwe, Potoya dan Karawana. Ketiganya, menurut Siti, menjadi desa yang paling sulit untuk mendapatkan air pascamusibah gempa bumi yang disertai likuefaksi pada 2018 lalu.
“Umumnya petani di Sigi bergantung dari air di irigasi. Itu waktu sebelum bencana 28 September 2018. Namun, ketika bencana itu, irigasi atau tanggul rusak. Nah, akibatnya, petani sulit dapat air,” kata Siti.
Luas lahan pertanian di Dolo mencapai 1.100 hektare, yang ditanami padi dan tanaman hortikultura. Dengan jumlah petani sekitar seribu hingga 1.500 orang.
Pascabencana pada setahun lalu, sebagian petani beralih profesi menjadi buruh dan tukang bangunan. Sebagian lagi, lanjut Siti, hijrah mencari nafkah di Kota Palu. Sisanya tetap bertahan sebagai petani, tetapi tidak menggarap lahan sendiri, melainkan milik orang di desa lain.
Di Desa Karawana, terdapat lahan pertanian seluas 265 hektare. Yang dapat dimanfaatkan hanya sekitar tiga hektare untuk tanaman hortikultura. Untuk jagung pakan, seluas 13 hektare. Selebihnya, saat ini tidak bisa dimanfaatkan para petani setempat lantaran bencana kekeringan.
Siti mengakui, tidak semua petani berkemampuan untuk membeli alkon, pipa, dan selang air. Demikian pula, hanya sedikit petani yang mampu membuat sumur dangkal dan sumur suntik karena faktor biaya yang terbatas.
Alhasil, lahan-lahan pertanian yang sebenarnya potensial di Kecamatan Dolo tidak dapat dimanfaatkan pascabencana.
“Petani tidak punya modal untuk hal itu. Karena itu butuh modal yang agak banyak kurang lebih sekitar Rp 5 juta untuk alkon, dan perlengkapan lainnya agar dapat air,” kata Siti. n. antara, ed:hasanul rizqa