EKBIS.CO, JAKARTA – Menanggapi kondisi oversuplai ayam di Tanah Air, pemerintah mulai mengkaji ulang kuota impor bibit indukan atau day old chicken grand parent stock (DOC GPS) tahun ini. Kendati demikian, kuota impor DOC dapat dimungkinkan setara dengan total impor tahun lalu.
Direktur Perbibitan dan Produksi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Sugiono mengatakan, ada kemuningkan kuota impor DOC GPS tak berubah dari tahun lalu. Hanya saja, kemungkinan tersebut belum dapat dipastikan sebab kajian mengenai impor masih dilangsungkan.
“Kami masih terus kaji, tapi kemungkinan jumlah impor (DOC GPS)-nya itu sama seperti tahun lalu,” kata Sugiono saat dihubungi Republika, Ahad (1/9).
Sugiono menjelaskan bahwa kondisi over suplai ayam di Tanah Air saat ini tak akan terdampak dari kebijakan impor DOC GPS yang akan ditentukan pemerintah tahun ini. Sebab impor tahun ini apabila dilangsungkan maka hanya akan baru berdampak pada sisi produksi di dua tahun mendatang.
“DOC GPS dikembangkan setelah 6 bulan jadi PS (parent stock), dari PS menetas jadi FS (final stock). Jadi perlu long term, yang dikomersilkan di lapangan itu yang FS,” ungkapnya.
Mengacu Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi diketahui bahwa sistem kuota impor DOC GPS ditentukan pemerintah. Regulasi itu menyebutkan bahwa setiap pelaku usaha pembibitan ayam mendapatkan rekomendasi impor sesuai dengan kemampuan setelah hasil audit dari tim independent.
Tahun lalu, impor DOC GPS sebanyak 720 ribu ton. Sedangkan jika dirata-rata per tahunnya, impor memang kerap berada di kisaran 700 ribuan berdasarkan pengakuan sejumlah asosiasi peternak ayam seperti Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) dan Gabungan Organisasi Peternak Nasional (Gopan).
Dia juga berharap hingga dua tahun mendatang konsumsi ayam di Indonesia mulai beranjak naik sehingga mampu menyeimbangi suplai yang tersedia. Dia menyebut, saat ini terdapat kecenderungan tren penurunan konsumsi ayam. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, konsumsi rata-rata per kapita daging ayam sebesar 12,13 kilogram (kg) per kapita per tahun.
“Jadi masih rendah sekali, ini kalau dibadi per orang itu dalam sebulan cuma makan paha (ayam)-nya saja. Berarti sehari hanya sesuir daging,” tuturnya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam menentukan kuota impor DOC GPS di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi bakal mengalami resesi.
Menurut Rusli, pemerintah perlu menyingkronkan data kebutuhan konsumsi dengan produksi yang terjadi. Sehingga ke depannya kondisi oversuplai dapat dihindari guna meminimalisasi kerugian yang dialami peternak mandiri.
“Pertumbuhan ekonomi kita kan terus menyusut, konsumsi juga pasti terimbas,” ujarnya.
Mengacu statistik BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2019 berada di level 5,05 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Angka pertumbuhan tersebut jauh melambat jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,27 persen yoy. Tercatat, laju pertumbuhan ekonomi yang mengisut ini trennya terjadi sejak kuartal II 2017.
Padahal, kata Rusli, kondisi pertumbuhan ekonomi di 2019 sudah ditopang dengan konsumsi Ramadhan dan juga Pemilu namun belum menemui laju yang agresif. Untuk itu, kajian kuota impor DOC GPS perlu dilakukan secara matang karena bukan tidak mungkin peternak mandiri malah akan jatuh berguguran akibat oversuplai yang rutin terjadi tiap tahunnya.
“Peternak mandiri nanti ujung-ujungnya seperti dimakan predator kalau kajian datanya tidak dibenahi,” pungkasnya.