Warta Ekonomi.co.id, Surakarta -- Saham Uber Technologies jungkir balik bulan lalu, setelah perusahaan mengalami perlambatan pertumbuhan pendapatan dan kerugian sekitar Rp 70 triliun. Secara keseluruhan, saham Uber turun hingga 23 persen selama Agustus, menurut data S&P Global Market Intelligence.
Berdasarkan laporan dari fool.com, hal baik terjadi pada 8 Agustus, di mana saham Uber meningkat 8 persen setelah saingannya, Lyft membukukan angka kuat dalam laporan keuangan kuartal II 2019. Namun, setelah laporan keuangan Uber dirilis sehari setelahnya, saham Uber pun anjlok.
"Pendapatan Uber pada kuartal II hanya naik 14 persen, menjadi 3,17 miliar dolar AS, jauh dari prediksi yang mencapai angka 3,36 miliar dolar AS," begitulah bunyi laporan keuangan itu, dikutip dari Fool Australia, Kamis (12/9/2019).
Baca Juga: Rugi Sampai Rp70 T, Aplikator Taksi Online Ini PHK 400-an Karyawan!
Yang lebih memprihatinkan, kerugian EBITDA yang disesuaikan meningkat lebih dari dua kali lipat pada periode itu, naik 12 persen menjadi 625 juta dolar AS, tanda kalau perusahaan semakin jauh dari meraup keuntungan.
Fool menuliskan, "Artinya, kerugian per saham mencapai 4,72 dolar AS, lebih tinggi dari prediksi analis yang berada di angka 3,12 dolar AS per saham."
Saham pun terus rontok setelah muncul laporan, Uber menghentikan perekrutan. Meskipun begitu, pemesanan kotor Uber meningkat 31 persen hingga 37 persen dalam mata uang konstan, menjadi 15,8 miliar dolar AS. Sementara, penghasilan yang terkait dengan IPO, meningkat 26 persen.
Baca Juga: 4 Perusahaan Taksi Online Terbesar di Dunia, Gojek Urutan Berapa?
Bagaimana dengan sekarang?
Saham Uber telah pulih pada September ini, setelah mencapai titik terendah pada 3 September, meski berita seputar saham belum banyak membaik. Lebih lanjut, beberapa hari lalu, perusahaan mengatakan akan memberhentikan 400 karyawan dari tim teknik dan produk--pertanda kalau perusahaan mencoba mengurangi kerugiannya.
Bahkan, Uber dan Lyft tampaknya berada di ujung hukum baru California yang meminta mereka mengubah sistem kemitraan dengan para pengemudi. Hal itu berpotensi meningkatkan biaya yang dikeluarkan perusahaan.
Pada titik ini, Uber seperti jatuh lalu tertimpa tangga, setelah IPO-nya tak berjalan begitu baik. Pertumbuhannya melambat, kerugiannya masih berjumlah miliaran dolar. Perusahaan itu memiliki banyak ide dan sejumlah bisnis sekunder sebagai pelengkap layanan berbagi tumpangannya. Namun, hal itu tak terlalu berpengaruh jika jumlahnya tak bertambah.
Apalagi, jika pertumbuhan top-line terus melambat, saham Uber akan semakin anjlok, menurut Fool.