EKBIS.CO, JAKARTA -- Realisasi penerimaan pajak sampai Agustus 2019 sudah mencapai Rp 801,16 triliun atau hanya tumbuh 0,21 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Nilai ini sangat menurun dibanding dengan pertumbuhan pajak Januari-Agustus 2018 yang dapat melesat hingga 16,52 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, penerimaan perpajakan dalam delapan bulan terakhir memgalami pertumbuhan yang landai. Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi global yang melambat sehingga berdampak pada kinerja korporasi dalam negeri. Dampak berikutnya, besaran setoran perpajakan mereka ke kas negara pun berkurang.
Sri mengatakan, tekanan perpajakan dalam periode Januari sampai Agustus ini terjadi pada seluruh jenis pajak. Paling jelas terlihat adalah Pajak Penghasilan (PPh) badan yang hanya tumbuh 0,6 persen atau sebesar Rp 155,62 triliun. "Nilai ini berbeda jauh dibandingkan tahun lalu yang mencapai 23,3 persen," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).
Perlambatan signifikan pada PPh badan tidak terlepas dari kontraksi pada sektor utama. Sebut saja industri pengolahan yang berkontribusi 28,9 persen terhadap penerimaan pajak. Pertumbuhannya dalam kurun waktu delapan bulan terakhir ini adalah minus 4,8 persen. Sedangkan, pada tahun lalu dapat mencapai 13,4 persen.
Bea masuk dan bea keluar dari industri pengolahan juga menghadapi pertumbuhan negatif, yakni -5,30 persen dan -32 persen. Kondisi bea keluar membaik dibandingkan tahun lalu (-75 persen), namun bea masuk memburuk dari periode yang sama pada tahun lalu (9 persen).
Sri mengatakan, kondisi tersebut menggambarkan penurunan kinerja industri manufaktur melalui impor bahan baku dan barang modal yang menurun. "Ini menentukan adanya pelemahan," ucapnya.
Selain manufaktur, sektor perdagangan juga menghadapi tekanan. Pada periode Januari hingga Agustus 2019, pertumbuhannya hanya 1,5 persen, kontras dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, 26,7 persen. Padahal, kontribusi sektor ini mencapai 20,8 persen atau menjadi kontributor terbesar kedua terhadap penerimaan negara.
Apabila dilihat dari bea masuk, pertumbuhan di sektor perdagangan mengalami kontraksi hingga minus 8 persen. Angka ini kontras dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, 24 persen. Meski bea keluarnya tumbuh positif, Sri mengatakan, kontraksi pada bea masuk menunjukkan bahwa sektor perdagangan tidak bebas dari dampak pelemahan ekonomi global.
Sektor yang juga menghadapi tekanan adalah pertambangan. Selama periode Januari sampai Agustus, total penerimaan perpajakan dari sektor ini adalah Rp 40,21 triliun. Besaran ini kontraksi 16,3 persen, jauh menurun dibanding dengan pencapaian periode yang sama pada tahun lalu, 71,6 persen.
Artinya, Sri menjelaskan, pertambangan mengalami tekanan sangat dalam sehingga penerimaan perpajakanya juga menghadapi tekanan. Konfirmasinya terutama terlihat dari bea keluar yang tumbuh -75 persen. "Sedangkan tahun lalu sampai 200 persen," tuturnya.
Dengan kondisi ini, Kemenkeu tetap memproyeksikan shortfall sebesar Rp 140 triliun. Artinya, Sri masih berharap penerimaan pajak mampu mencapai Rp 1.437,53 triliun atau 91,22 persen dari targetnya, Rp 1.577,55 triliun.
Untuk menekan dampak buruk lebih dalam, Sri memastikan pemerintah akan terus melakukan reformasi perpajakan. Khususnya dengan meningkatkan kepatuhan pelayanan, Automatic Exchange of Information (AEoI), dan menaikkan ekstensifikasi pajak lainnya. Kebijakan ini terus dilakukan tanpa mengesampingkan masalah ekonomi dunia usaha yang tengah menghadapi tekanan.