EKBIS.CO, JAKARTA -- Menjelang penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014, pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mengeluhkan kewajiban sertifikasi halal yang tertuang di dalamnya. Alasannya, biaya sertifikasi cenderung mahal dan prosesnya berbelit.
Ketua Asosiasi UMKM (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menyatakan, keluhan UMKM bukan tanpa alasan. Selain mahal dan berbelitnya proses sertifikasi, kesiapan pemerintah dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga dipertanyakan.
"Kami menyayangkan memang bahwa sertifikasi ini bentuknya wajib, tak opsional. Selain juga kesiapan BPJPH dipertanyakan," kata Ikhsan saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (26/9).
Seperti diketahui, penerapan kewajiban sertifikasi halal bakal berlaku mulai 17 Oktober 2019 yang dimulai secara bertahap. Pada tahap awal, pelaku usaha makanan dan minuman (mamin) diwajibkan mensertifikasi tiap produknya dalam jangka waktu lima tahun. Menanggapi ini dia menilai, UMKM tak diberi pilihan untuk melaksanakan atau tidak sebab aturan yang berbentuk UU itu sudah final.
Padahal, kata dia, di Malaysia sebagai negara dengan basis halal yang lebih kuat, peraturan mensertifikasi produk halalnya hanya sebatas opsional sifatnya. Berbeda halnya di Indonesia, sertifikasi halal berstatus mandatori alias wajib tanpa pengecualian bagi produk barang dan jasa.
"Malaysia itu masih opsional, kok kita berani sekali bilang ini mandatori? Siap enggak pemerintah (dalam penerapannya)," kata dia.
Berdasarkan catatan Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), dari 2,6 juta pelaku UMKM yang ada, terdapat 1,6 juta pelaku UMKM sektor mamin.
Jumlah tersebut berdasarkan catatan yang terdata. Artinya, masih ada kemungkinan jumlah UMKM yang belum terdata itu cukup besar mengingat pedagang kaki lima (PKL) mamin juga masuk dalam kategori UMKM. Keseluruhan ini nantinya wajib memperoleh sertifikasi halal.